Search

Selasa, 12 Februari 2019

MAKALAH KONSEP REPUBLIK DAN KERAJAAN DALAM ISLAM


Kelompok 10
MAKALAH
KONSEP REPUBLIC DAN KERAJAAN DALAM ISLAM
Dosen Pengampu: Drs. Agustamsyah M.I.P







DISUSUN OLEH
                                                DANI ANDRIYANTO         (1531040098)
                                                NAZIBULLAH                     (1531040113)




FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG
TAHUN 2017/2018







KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb
Alhamdullilah dengan mengucapkan Pujisyukur kehadirat Allah Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA, sehingga makalah yang berjudul “Konsep Republic dan Kerajaan dalam Islam’’ ini dapat tersusun hingga selesai dengan baik dan lancar. Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.
Dan harapan kami semoga makalah ini dapat dijadikan sebagai bahan acuan untuk menambah pengetahuan, memahami dan mempelajari tentang konsep republic dan kerajaan dalam islam, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb






Bandar Lampung, 4 Maret 2018


Penulis                        





DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR ..................................................................................................... I
DAFTAR.......................................................................................................................... II

BAB I PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang .......................................................................................................... 1
B.   Rumusan Masalah ...................................................................................................... 2
C.   Tujuan Masalah .......................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN
A.   Islam Memandang Politik dan Pemerintahan............................................................. 3
B.   Sistem Pemerintahan Republik................................................................................... 5
C.   Sistem Pemerintahan Kerajaan (Monarki).................................................................. 6
D.   Repblik Islam Syi’ah Iran........................................................................................... 7
E.   Sistem Monarchiheridetis Bani Umayah................................................................... 10
F.    Kerajaan Islam Saudi Arabia.................................................................................... 14


BAB III PENUTUP
A.  Kesimpulan................................................................................................................ 17










BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Islam sebagai agama yang tidak hanya mengurusi urusan ibadah,telah dipraktekan oleh pengikutnya dalam bentuk institusi politik Negara. Semenjak wafatnya Rasulullah SAW, islam tampil dalam bentuk yang nyata sebagai institusi Negara. Dalam banyak hal, bisa ditemukan kenyataan-kenyataan sejarah yang menunjuk pada eksitensi Negara, terutama semenjak berdirinya Bani Umayah hingga hancurnya Khilafah Turki Ustmani. Dari kenyataan yang panjang sejak abad ke-7 hingga abad ke-21 M, ummat islam telah mempraktekan kehidupan politik yang begitu kaya dan beragam salah satunya bentuk negara republic dan bentuk negara kerajaan.
Apakah dalam Islam terdapat konsep mengenai negara? Menurut penelitian beberapa akademisi, sebut saja di antaranya John L. Esposito dan Muhammad Husain Haikal, tidak ada satu pun konsep mengenai negara dalam Islam yang disepakati oleh semua sepanjang sejarah.  Islam hanya memberikan instrument etis, namun tidak memberikan rincian detilnya bagaimana bentuk suatu negara dan bagaimana proses mengelola kelembagaannya.
Banyak individu Muslim yang menyatakan bahwa Islam itu agama yang lengkap; ajarannya mencakup semua hal dalam bidang kehidupan, termasuk masalah politik. Hal ini harus diakui bahwa memang Al-Quran telah memberikan ajaran yang lengkap mengenai kehidupan manusia. Namun yang perlu dicatat adalah, Al-Quran hanya memberi sandaran etis dan sifatnya umum. Sementara untuk membentuk sandaran praksis dan detilnya perlu mendapat sentuhan interpretasi atau ijtihad dari kaum Muslim. Masalah negara misalnya, mengutip Husain Haikal, Al-Quran tidak memberikan petunjuk langsung dan rinci bagaimana umat Islam harus membangun sebuah bentuk negara. Negara dalam Islam masih berupa prinsip-prinsip dasar. Bagaimana bentuk negaranya, sistem pemerintahannya, proses pelaksanaannya, dan lain-lain tidak dijelaskan. Hal ini memungkinkan terus dibukanya ijtihad politik di dalam diri umat Islam.  Dan dalam melakukan ijtihad tersebut, kaum Muslim umumnya akan melihat sejarah Islam sebagai referensi.


B.     Rumusan Masalah
Ø  Bagaimana Konsep Republic dalam Islam?
Ø  Bagaimana Konsep kerajaan dalam Islam?

C.    Tujun Masalah
Ø  Untuk mengetahui Konsep Republic dalam Islam
Ø  Untuk mengetahui Konsep Kerajaan dalam Islam






BAB II
PEMBAHASAN
A.    Islam Memandang Politik dan Pemerintahan
Al-Qur’an membicarakan segala aspek kehidupan yang terkait dengan kehidupan manusia sebagaimana  pernyataan Allah dalam Al-Qur’an: “ Tidaklah Kami (Allah) luputkan sesuatu apa pun dalam Al-Qur’an ini”. Dalam kaitan ini, Yusuf Musa menyatakan bahwa Islam adalah tatanan hidup yang lengkap, artinya ajaran yang dibawa Islam tidak hanya menyangkut masalah agama saja, tetapi juga terkait dengan masalah sosial, kenegaraan, dan lainnya. Namun demikian, nyatanya, di bidang negara dan pemerintahan, misalnya, tidak ditemui nash tentang bentuk negara dan sistem politik pemerintahan tertentu. Artinya, Al-Qur’an tidak menetapkan suatu acuan tentang bentuk negara dan sistem politik pemerintahan secara Muhkamat bagi penganut Al-Qur’an. Muhammad Izzah Darwazah, ketika mengelompokkan ayat-ayat Al-Qur’an yang mencakup kenegaraan, menyatakan bahwa ayat-ayat yang berkaitan dengan kenegaraan tidak menegaskan tentang bentuk negara atau sistem pemerintahan dalam Islam.                            
      Namun, menurutnya, Al-Qur’an mengisyaratkan pembentukan negara dan adanya kepala negara yang memimpin. Hal tersebut menimbulkan keanekaragaman penafsiran terhadap nash-nash yang berkaitan dengan negara. Itulah sebabnya ditemukan dalam khazanah sejarah politik Islam baik dalam pemikiran maupun praktik pemerintahan; bentuk dan sistemnya sejak zaman Rasulullah sampai sekarang di dunia Islam, tidak satu macam, tetapi beragam; mulai dari Khilafah yang republik, demokratis, dan absolute; kesultanan/keamiran yang monarki, hingga negara-negara bangsa yang repubik demokratis atau absolut, monarki demokratis dan atau absolut.  Bila ditinjau dari aspek pemikiran, menurut Munawir Sjadzali, para pemikir politik Islam kontemporer dapat digolongkan ke dalam tiga aliran.
Aliran pertama berpendapat bahwa Islam bukanlah semata-mata dalam pengertian sarjana Barat, yakni hanya mengatur  hubungan manusia dengan Tuhan. Sebaliknya, Islam adalah suatu agama yang sempurna dan lengkap yang mengatur segala aspek kehidupan manusia, termasuk sistem politik atau ketatanegaraan. Oleh karena itu, umat Islam tidak perlu meniru sistem ketatanegaraan Barat, sejatinya kembali kepada sistem ketatanegaraan Islam yang dipraktikkan oleh Rasulullah dan Khulafaurrasyidin. Tokoh utama aliran ini adalah Syekh Hasan al-Banna, Sayyid Qutb, Syekh Rasyid Ridha, dan Al-Maududi yang paling vokal.
Aliran kedua berpendapat bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat yang tidak ada kaitannya dengan urusan kenegaraan. Nabi Muhammad, menurut aliran ini, adalah seorang Rasul biasa seperti rasul-rasul sebelumnya. Tugasnya tidak dimaksudkan untuk mendirikan negara dan memimpinnya. Ia hanya mempunyai tugas tunggal, yaitu mengajak manusia kembali kepada kehidupan yang mulia dengan menjunjung tinggi budi pekerti luhur. Tokoh aliran ini adalah Ali Abdu al-Raziq dan Thaha Husein.
Aliran ketiga berpendapat bahwa Islam bukanlah agama yang serba lengkap dan bahwa di dalamnya terdapat sistem ketatanegaraan. Aliran ini juga menolak pendapat bahwa Islam adalah agama dalam pengertian sarjana Barat. Bagi aliran ini bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi ia mengandung seperangkat tata nilai yang lengkap bagi kehidupan bernegara. Tokoh yang menonjol dalam aliran ini adalah Husein Haikal dan Muhammad Abduh.
Pendapat aliran pertama menghendaki tidak perlu umat Islam mentransfer budaya politik dan pemerintahan dari Barat. Islam adalah sistem, mengandung konsep segala sesuatu, sudah lengkap sebagai yang terdapat pada zaman Nabi Muhammad SAW dan Khulafaurrasyidin. Pendapat aliran kedua yang menyatakan bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat, maka hal-hal yang berkaitan dengan sistem politik dan pemerintahan, sebaiknya umat Islam meniru Barat. Sementara itu, aliran ketiga sebagai sintesa dari kedua aliran di atas, tampaknya, memandang bila Islam menetapkan sistem ketatanegaraan, itu berarti membawa konsep yang tidak fleksibel. Karena masyarakat secara sosiologis selalu berubah, maka sistem pun harus berubah. Jika demikian, berarti Al-Qur’an tidak mampu mngantisipasi dinamika kehidupan masyarakat, karena suatu sistem cenderung bersifat statis dan mengekang dinamika masyarakat. Lebih-lebih bila sistem itu diwahyukan dan bersifat absolut. Akibatnya membuat Islam kehilangan alat vitalnya dan fungsinya sebagai rahmat dan petunjuk. Oleh karenanya aliran ketiga memandang dan berpendirian bahwa Islam tidak memiliki sistem ketatanegaraan yang baku untuk diikuti umat Islam, yang demikian membuat Islam mampu mengantisipasi dinamika masyarakat. Namun, aliran ini berpendapat bahwa Islam mengandung prinsip-prinsip  dasar sebagai tata nilai etik dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Di atas tata nilai dan etik itulah masyarakat berkembang mengikuti perubahan zaman, sehingga dengan demikian Islam itu fungsional sepanjang zaman, karena penganutnya tidak dikekang oleh suatu sistem ketatanegaraan tertentu. Mereka bebas memilih. 
B.     Sistem Pemerintahan Republik
Republik adalah sebuah negara di mana tampuk pemerintahan akhirnya bercabang dari rakyat, bukan dari prinsip keturunan bangsawan dan sering dipimpin atau dikepalai oleh seorang presiden. Istilah ini berasal dari bahasa Latin res publica, atau "urusan awam", yang artinya kerajaan dimilik serta dikawal oleh rakyat. Namun republik berbeda dengan konsep demokrasi. Terdapat kasus dimana negara republik diperintah secara totaliter. Ketua negara suatu republik biasanya seorang saja, yaitu Presiden, tetapi ada juga beberapa pengecualian misalnya di Swiss, terdapat majelis tujuh pemimpin yang merangkap sebagai ketua negara, dipanggil Bundesrat, dan di San Marino, jabatan ketua negara dipegang oleh dua orang.
Republikanisme adalah pandangan bahwa sebuah republik merupakan bentuk pemerintahan terbaik. Republikanisme juga dapat mengarah pada ideologi dari banyak partai politik yang menamakan diri mereka Partai Republikan. Beberapa dari antaranya adalah, atau mempunyai akarnya dari anti-monarkisme. Untuk kebanyakan partai republikan hanyalah sebuah nama dan partai-partai ini, serta pihak yang berhubungan dengan mereka, mempunyai sedikit keserupaan selain dari nama mereka.
Sistem pemerintahan republik dibedakan menjadi 3 macam, yaitu :
1.      Republik Absolut
Dalam republik absolut, pemerintahan bersifat diktator. Hukum dimanipulasi hingga mendukung kekuasaannya. Contoh Jerman pada masa Hitler, Italia pada masa Mussolini, dan Spanyol pada masa Jenderal Franco. Perbedaan utama antara monarki absolut dengan republik absolut adalah bahwa dalam monarki absolut kekuasaan raja diwarisi dari para pendahulunya, sedangkan dalam republik absolut kekuasaan bisa didapat melalui berbagai cara, seperti kudeta (perebutan kekuasaan) atau pemilu yang curang.
2.      Republik Konstitusional
Dalam pemerintahan republik konstitusional kekuasaan kepala negara dan kepala pemerintahan tidak diwariskan. Kedudukan politik dapat diperebutkan mel alui cara-cara yang sah, seperti yang ditetapkan dalam undang-undang. Dalam undang-undang diatur mengenai bagaiman kekuasaan dijalankan, hak, dan kewajiban warga negara, serta aturan-aturan lain dalam kehidupan kenegaraan. Dlam pemerintahan ini, presiden menjadi kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Menteri diangkat dan diberhentikan oleh presiden dan bertanggung jawab kepada presiden. Contoh Amerika Serikat, dan Republik Indonesia.
3.      Republik Parlementer
Dalam pemerintahan ini, presiden sebagai kepala negara yang tidak aktifmemimpin penyelenggaraan pemerintahan. Kepala pemerintahan dipegang oleh perdana menteri yang memimpin kabinet. Para menteri bertanggung jawab pada parlemen. Presiden tidak dapat diganggu gugat. Presiden memiliki hak prerogatif, yakni hak yang bersifat kehormatan sehingga hanya sebagai lambang. Contoh Jerman, Italia, dan India.

C.    Sistem Pemerintahan Monarki (kerajaan)
Monarki, berasal dari bahasa Yunani monos (μονος) yang berarti satu, dan archein (αρχειν) yang berarti pemerintah. Monarki merupakan sejenis pemerintahan yang dipimpin oleh seorang penguasa monarki. Monarki atau sistem pemerintahan kerajaan adalah sistem tertua di dunia. Pada awal kurun ke-19, terdapat lebih 900 tahta kerajaan di dunia, tetapi menurun menjadi 240 dalam abad ke-20. Sedangkan pada dekade kedelapan abad ke-20, hanya 40 takhta saja yang masih ada. Suatu bentuk pemerintahan yang dipegang oleh satu orang demi kepentingan umum.
Sistem pemerintahan monarki merupakan sistem tertua didunia. Pengertian sistem pemerintahan monarki menurut para ahli, yaitu : 
Ø  Menurut Garner
sistem pemerintahan monarki menyatakan bahwa setiap pemerintahan yang didalamnya menerapkan kekuasaan yang akhir atau tertinggi pada seseorang tanpa melihat pada sumber sifat-sifat dasar pemilihan dan batas waktu jabatannya.
Ø  Menurut Jellinek
sistem pemerintahan monarki adalah pemerintahan kehendak satu fisik dan menekankan bahwa karakteristik sifat-sifat dasar monarki adalah kompetensi untuk memperlihatkan kekuasaan tertinggi negara.
Sistem pemerintahan monarki dibedakan menjadi 3 macam, yaitu :
1)      Monarki Absolut
Bentuk pemerintahan monarki absolut dikepalai oleh seorang raja, ratu, syah, atau kaisar. Pada sistem monarki absolut ini terdapat kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Contoh : Prancis dimana  kekuasaan Louis XIV.
2)      Monarki Konstitusional
Dalam pemerintahan konstitusional partisipasi rakyat dibatasi.
3)      Monarki Parlementer
Dalam pemerintahan parlementer kekuasaan tertinggi ditangan perlemen. Jatuh tegaknya pemerintah bergantung pad kepercayaan parlemen kepada para menteri. Raja tidak memegang pemerintahan dengan nyata, tetapi  para menteri yang bertanggung jawab atas nama dewan maupun sendiri-sendiri, sesuai tugas masing-masing.

D.    Republik Islam Syi’ah Iran
Revolusi Iran tahun 1979 telah mampu merubah wajah Iran yang moderat dan sekuler menjadi sebuah negara yang Islamis. Iran, sebelum revolusi 1979 merupakan negara moderat dan sekuler. Namun demikian, kedekatan masyarakat dengan para ulamanya yang memiliki image yang baik serta rentang sejarah yang cukup lama, sehingga hal ini memudahkan terjadinya transformasi “kesadaran dalam beragama”. Setelah Imam Khomeini berhasil menggulingkan tirani Reza Pahlevi dari kedudukannya sebagai Syah Iran, ia tidak memaksakan kehendaknya untuk mendirikan dan membentuk sebuah Negara Islam. Namun lebih memilih mengembalikan Iran kepada rakyatnya. Selanjutnya, merekalah yang memilih Iran sebagai Negara Islam dengan capaian suara 85%. Hal ini merupakan buah dari “kesadaran dalam beragama” yang telah lama tertanam dalam masyarakat Iran(Sumarna).
Revolusi Islam Iran tahun 1979 adalah kebangkitan rakyat yang bersumberkan pada ajaran dan nilai-nilai Islam. Pasca kemenangan revolusi, pemerintah bersama rakyat Iran bergotong-royong membangun kembali negerinya di berbagai bidang. Islam sebagai agama yang sempurna dan komprehensif, selalu menekankan pentingnya mengembangkan ilmu pengetahuan dan memajukan taraf hidup umat. Terkait hal ini, Islam mengajarkan dua prinsip utama, yaitu: pertama, sikap mandiri dan tidak bergantung pada non-muslim, dan kedua adalah percaya diri dan bertawakkal kepada yang Maha Kuasa untuk memajukan kehidupan umat muslim. Ajaran luhur Islam ini merupakan daya penggerak bagi kaum muslim untuk memutus ketergantungan mereka terhadap pihak lain dan menentang penjajahan atas dirinya. Pesan kemandirian inilah yang selalu diperjuangkan Revolusi Islam. Sepanjang 31 tahun sejak kemenangan Revolusi Islam.
Republik Islam Iran berhasil mencapai kemajuan besar di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, politik, ekonomi, sosial, dan militer. Yang menarik, gerakan perjuangan revolusi Islam Iran terlahir dari masjid-masjid dan pusat-pusat keislaman. Aksi demo besar yang terjadi di setiap kota untuk menentang rezim shah dan menyuarakan dukungan kepada Imam Khomeini biasanya dimulai dari masjid. Dalam tradisi masyarakat Iran, khususnya Syi’ah, konsep syariat memiliki pemahaman dan makna yang cukup luas, mencakup permasalahan aqidah. Fiqh dan akhlak. Fiqh sendiri terbagi pada dua bab besar, pertama, bersifat personal dan kedua, bersifat sosial yang kesemuanya itu harus menjadi kesatuan yang tunggal walaupun secara konseptual berbeda (Zhamir, 1995). Disisi lain, tugas para ulama bukan saja menyebarkan ataupun mengajarkan hukum-hukum fiqh belaka. Mereka juga memiliki tanggung jawab atas terciptanya “kesadaran beragama” bagi awam agar mereka merasa memiliki keterbutuhan atas syariat Islam. Syi’ah adalah mazhab politik pertama yang lahir dalam Islam. Mazhab mereka tampil pada akhir pemerintahan Utsman, kemudian tampil pada akhir masa Ali.  Pada perkembangan selanjutnya, aliran Syi’ah ini terpecah menjadi puluhan cabang atau sekte, hal ini disebabkan karena cara pandang yang berbeda dikalangan mereka mengenai sifat imam ma’shum atau tidak dan perbedaan didalam menentukan pengganti imam. Pemimpin Syi’ah Iran menetapkan bahwa seorang imam harus memenuhi kriteria sebagai berikut;
1.      Harus ma’shum (terpelihara) salah, lupa, dan maksiat.
2.      Seorang imam boleh membuat hal luar biasa dari adat kebiasaan.
3.      Seorang imam harus memiliki ilmu yang meliputi setiap sesuatu yang berhubungan dengan syari’at.
4.      Imam adalah pembela agama dan pemelihara kemurnian dan kelestarian agar terhindar dari penyelewengan.
Menariknya, tidak seperti kelompok syi’ah mayoritas lainnya, Syi’ah Zaidiyah tidak menganut paham dan teori imam bersembunyi. Bagi mereka imam harus memimpin umat dan berasal dari keturunan Ali dan Fatimah, Syi’ah Zaidiyah tidak meyakini bahwa Nabi telah menetapkan orang dan nama tertentu untuk menjadi imam. Nabi hanya menetapkan sifat – sifat yang mesti dimiliki seorang imam yang akan menggantikan beliau. Terjadinya pengkultusan terhadap diri Ali oleh kaum Syi’ah sebagaimana dijelaskan oleh Suyuti merupakan tidak bisa lepas dari pendapat Khawarij yang mengkafirkan Ali sejak peristiwa tahkim (arbitrase). Untuk melihat bagaimana nilai Islam diterapikan di Iran, penting kiranya merunut pemahaman nilai Islam sendiri yang diambil dari pemikiran Imam Besar Iran, Imam Yatullah Al Khomeini(Raharjo, 2010).
Imam Khomeini merupakan imam besar yang pemikirannya banyak menjadi rujukan bahkan pedoman, terutama setelah revolusi Islam Iran berlangsung dengan jatuhnya Pemerintahan Kesultanan Syah Pahlevi tahun 1979. Imam Khomeini meletakkan fungsi dan arti fuqaha dalam konsep yang universal, bukan hanya ahli di bidang hukum Islam atau hanya merupakan tokoh spriritual. Baginya juga tidak ada pemisahan antara agama dan negara (nonsekularisme). Doktrin Islam diterapkan dalam kehidupan kemasyarakatan, patriotisme adminstrasi keadilan dan penentangan terhadap tirani dan dispotisme. Islam mengingatkan kepada pemeluknya untuk tidak tunduk kepada kekuasaan asing. Inilah sebabnya, mengapa kaum imperialis berusaha mengacaukan pikiran rakyat dengan menarik garis pemisah antara antara agama dan pemerintahan dan politik. Baginya, ulama atau ahli hukum (fuqaha) memiliki dharma (kewajiban) untuk menegakkan hukum-hukum Tuhan yang intinya adalah sebuah misi yang dijalankan oleh negara dan pemerintahan yang adil. Republik Islam Iran pada dasarnya tidak mengaktualisasikan konsep Imamah dalam tradisi Syi’ah yang konservatif.
Namun meletakkan konsep imamah dalam konteks modern. Artinya, pemimpin Islam dan negara tidak mesti berada pada garis keturunan Ali bin Abi Thalib. Kepemimpinan Islam Iran terletak pada kaum fuqaha dan tidak kepada kaum cendekiawan didikan Barat. Yang menarik dari Republik Islam Iran adalah komitmen negara dan pemerintah dalam menjalankan syari’at Islam tetapi sekaligus juga berusaha mencari bentuk demokrasi dalam pemerintahan maupun dalam sistem politik. Dalam sistem ekonomi, Iran berusaha untuk menerapkan prinsip-prinsip syar’ah dalam berekonomi. Secagai contoh pemerintah Iran secara total mengkonversi sistem bank konvensional menjadi sepenuhnya bank Islam atau bank syari’ah. Pemerintah Iran juga berusaha untuk menjalin hubungan dagang terutama dengan negara-negara Muslim. Dalam sistem negara dan pemerintahan, Iran melakukan model ideologization of religion untuk membentuk suatu religious ideology. Menurut Geiger, ideologi adalah suatu sistem gagasan tentang realitas sosial, yang diartikulasikan dengan konsustensi internal dan dielaborasi secara logis atas dasar asumsi-asumsi awal sehingga membentuk korpus tertulis, bebas dari pemikiran orang yang dapat dijadikan rujukan dan dapat menjadi dasar penafsiran, komentar dan indoktrinas.
Dalam ini, ideologsasi Islam menurut Ali Merad berarti merumusklan kandungan Islam dalam bentuk norma dan nilai mengenai tatanan sosial-politik. Pemerintahan Iran yang ada sekarang memang mendasarkan diri pada konsep Wilayah al Faqih yang ditawarkan oleh Imam Khomeini. Dalam realitas pemerintahan dan sistem politik Iran kontemporer agaknya terus mencari bentuk yang dipengaruhi oleh aliran aliran pemikiran, bukan saja mengandung perbedaan antara kaum ulama dan kaum cendekiawan, tetapi juga perbedaan di kalangan kaum mullah sendiri.

E.     Sistem Monarchiheridetis Bani Umayah
Tampilnya pemerintahan Dinasti Umayah yang mengambil bentuk Monarki, merupakan babak kedua dari praktek pemerintahan umat Islam dalam sejarah. Naik tahtanya Bani Umayah tidak hanya menunjukkan suatu perubahan dinasti, tetapi juga memutarbalikkan suatu prinsip dan lahirnya beberapa faktor baru yang menggunakan pengaruh sangat kuat atas kekayaan kerajaan dan perkembangan bangsa.          
Berkuasanya Muawiyah atas kendali pemerintahan merupakan tahapan peralihan yang menyimpangkan negara Islam atau Daulah Islamiyah dari sistem Khilafah ke sistem kerajaan. Abu Musa al Asyari menjelaskan mengenai pandangan sahabat Nabi SAW mengenai perbedaan antara kekhalifahan dan kerajaan yang menunjukkan pendirian mereka secara lebih jelas, dengan kata-katanya : “kepemimpinan yang benar adalah berdasarkan musyawarah. Adapun kerajaan adalah yang dimenangkan dengan kekuatan pedang”. 
Berdirinya pemerintahan Dinasti Umayah tidak semata-mata peralihan kekuasaan, namun peristiwa tersebut mengandung banyak implikasi, diantaranya perubahan prinsip dan berkembangnya corak baru yang sangat mempengaruhi Imperium dan perkembangan umat Islam. Semenjak Muawiyah berkuasa, raja-raja Umayah yang berkuasa kelak menunjuk penggantinya dan para pemuka agama menyatakan sumpah setia di hadapan raja. Sistem pengangkatan penguasa seperti ini, bertentangan dengan prinsip dasar dan ajaran permusyawaratan.
Suksesi kepemimpinan secara turun temurun yang berdasarka politik, lebih daripada kepentingan daripada keagamaan ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya menyatakan setia terhadap anaknya sendiri, Yazid. Muawiyah bermaksud mencontoh Monarchiheridetis di Persia dan Kaisar di Byzantine. Hal ini menjadi komprehensif di dalam kata-katanya “Saya adalah raja pertama dari raja-raja. Menjalankan pemerintahan berdasarkan musyawarah merupakan kaidah yang penting antara kaidah-kaidah azasi bagi pemerintahan Islam. Namun ketika sistem khilafah telah beralih menjadi sistem kerajaan, berubah pulalah kaidah ini. Permusyawaratan diganti dengan kediktatoran pribadi dan para raja menjauhkan diri dari para ahli ilmu yang berani menjauhkan diri dari para raja.
Sehubungan dengan sistem permusyawaratan tidak lagi diterapkan, adanya bai’at tidak lagi merupakan persyaratan untuk meraih kekuasan dan mempertahankannya. Bencana besar yang telah diakibatkan oleh keadaan ini adalah kosongnya suatu masyarakat yang luas dan maju dari sebuah badan yang memiliki kekuasaan untuk memutuskan segala masalah hukum secara tuntas, sehingga rakyat dapat mempercayakan kepadanya urusan-urusan mereka setiap kali mereka mengingkarinya. Selama satu abad penuh, umat tidak memiliki konstitusi yang dapat diandalkan. Perubahan yang terjadi dengan datangnya sistem yang kedua untuk menggantikan tempat yang pertama dan dampak yang timbul terhadap kehidupan kaum muslimin secara umum diantaranya sistem Arabisasi yang mulai diterapkan atau munculnya kefanatikan kesukuan (Ashabiyah Qaumiyah) yang mampu menghancurkan kesatuan bangsa Arab. Setelah Islam datang, hapuslah fanatik Arab yang berdasarkan keturunan suku, dan semua orang Arab tergabung dalam ikatan Islam yang dinamakan al Jamiah al Islamiyah, yang selama berkuasanya Khualfaur Rasyidin tetap mengikat erat bangsa Arab.
Ajaran perjuangan nabi agung, Muhammad SAW menghapuskan fanatisme ras dan keusukuan selama masa republik Islam. Perlakuan yang sama rata antara manusia semuanya merupakan ciri-ciri masa Islam yang pertama dengan prinsip-prinsip dasar Islam dan jiwanya yang jauh dari segala bentuk fanatisme kesukuan, kebangsaan. Ajaran ini dapat dipertahankan selama pemerintahan khulafaur rasyidin. Pada akhir jabatannya, Umar RA merasa khawatir akan bangkitnya kembali berbagai macam ashabiyah kesukuan di kalangan bangsa Arab, yang pada waktu itu belum sama sekali hilang. Meskipun kuatnya pengaruh revolusi yang dicetuskan oleh Islam di antara mereka, sehingga ia merasa khawatir bahwa dengan bangkitnya kembali perasaan ashabiyah seperti itu akan menimbulkan fitnah (kekacauan) yang melanda Islam dan kaum muslimin. Setelah Bani Umayah merebut kendali Khilafah, mereka menghidupakn kembali “fanatik Arab”, dan mengembangkan lagi adat kebiasan “badawah” (desa). Maka berkuasalah Khusunah (kekasaran) desa atas politik dan pemerintah mereka, dengan meninggalkan kehalusan budi bahasanya. Yang mereka benar-benar amalkan dari ajaran jahiliyah yaitu, Fanatik Quraisy dan pengutamaan kaum Quraisy atau suku-suku lainnya, yang menyebabkan timbul kemarahan dalam kalangan kabilah-kabilah lain. Khilafah Umayah menghidupkan kembali kecemburuan rasial tersebut untuk membantu mencapai tujuan mereka dengan mengadu domba satu suku dengan suku lain.
Hal ini dilakukan supaya kekuatan kabilah-kabilah Arab lainnya hancur. Kendati sebelumnya Islam telah meleburkan setiap insan yang telah menerima agama Allah dan membentuk kembali mereka semua sebagai satu umat yang mmperoleh hak-hak yang sama didalamnya. Sejak semula, pemerintahan Bani Umayah telah tampil dengan warna ke-Arabannya yang murni dan bersikeras untuk mempertahankannya, sehingga segala persamaan hak antara kaum muslimin  yang berbangsa Arab dengan kaum muslimin yang non-Arab, hampir-hampir hilang dan luruh.
Dinasti ini bersifat ekslusif karena lebih mengutamakan orang-orang berdarah Arab duduk dalam pemerintahan, orang non Arab tidak mendapat kesempatan yang sama. Politik “kasta” yang dijalankan Bani Umayah ini, dimana dalam lingkungan kaum muslimin orang-orang Arab ditempatkan pada derajat yang tertinggi dan lebih diutamakan dari orang-orang non Arab menjadikan bertambah kesombongan orang-orang Arab atas bangsa lain, terutama muslim non Arab sendiri, bahkan mereka diberi nama jelek yaitu Al Mawaly (budak tawanan perang yang sudah dimerdekakan). Sering juga disebut al Hamra (si merah). Orang Arab memandang dirinya Sayid (Tuan) atas orang non Arab Abdul Malik ibn Marwan, karena kefanatikannya kepada bangsa Arab, melakukan gerakan Arabisme, yaitu semua penduduk daerah Islam diwajibkan berbahasa Arab, semua peraturan negara yang ditulis dengan bahasa Romawi dan Persia disalin ke dalam bahasa Arab. Akhirnya ditetapkan bahwa bahasa resmi negara adalah bahasa Arab, semua orang Islam terpaksa belajar bahasa Arab. Adat istiadat serta tata cara kehidupan juga harus menjadi orang Arab Untuk menyempurnakan pengetahuan orang-orang bukan Arab tentang bahasa Arab, maka pengenalan bahasa dan tata krama dalam kebiasaan Arab mulai dilakukan. Selain merubah bahasa administrasi, Abdul Malik juga melakukan pembaruan dengan mencetak uang sendiri di tahun 659 M dengan memakai kata-kata dan tulisan Arab. Dinar terbuat dari emas dan dirham dari perak.
Sampai dengan masa pemerintahan Abdul Malik umat muslim hanya berkewajiban membayar zakat dan dibebaskan dari pajak lainnya. Hal ini mendorong orang non muslim untuk memeluk agama Islam. Mereka meninggalkan pertaniannya, pindah ke kota untuk menjadi militer Islam. Mereka inilah yang disebut Mawali. Fenomena yang demikian menyebabkan timbulnya problem perekonomian negara. Pada satu sisi perpindahan agama tersebut mengakibatkan berkurangnya sumber pendapatan negara dari sektor pajak. Pada sisi lain, bertambahnya militer dari Islam dari kaum Mawali tersebut memerlukan dana subsidi yang makin besar. Untuk mengatasi masalah ini, atas saran Hajjaj ibn Yusuf, Abdul Malik mengembalikan beberapa militer ke posisinya semula, yakni sebegai petani, dan menetapkan atas kewajiban membayar sejumlah pajak, sebagaimana kewajiban sebelum memeluk Islam, yaknik sebesar Kharaj dan Jizyah.Dalam hal, Maududi menjelaskan bahwa para penguasa telah berdalil bahwa tidnakan memeluk agama Islam dari orang-orang ini semata-mata hanya karena mereka ingin melepaskan diri dari Jizyah. Sedangkan sebab diberlakukannya Jizyah atas orang tersebut sebenarnya ialah ketakutan para penguasa akan kurangnya pemasukan baitul maal.
Dengan ditetapkannya Jizyah bagi orang yang baru memeluk Islam, berarti mereka telah melanggar hukum Islam dan merupakan hambatan terbesar bagi tersiarnya agama Islam secara lebih luas. Penonjolan bentuk baru dari imperium Arab-Muslim tidak menghilangkan ketidaktentraman yang tumbuh di beberapa perkampungan militer. Kelompok Mawali yang bekerja sebagai tentara di bidang kemiliteran dan sebagai administrasi dalam birokrasi pemerintahan menuntut persamaan status dan previlese dengan kelompok Arab. Pasukan militer menuntut hak untuk berperan dalam diwan-diwan kemiliteran. Para petani yang memeluk Islam juga menuntut hak terhadap pembebasan dari pungutan pajak, sama seperti kaum Arab lainnya. Dalam perluasan  kerajaan Islam, jasa para Maula tidak kurang pentingnya, dibandingkan jasa para orang Islam Arab. Namun para khalifah Umayah menghapuskan semua kewenangan dan hak istimewa mereka di negara itu.
Akibatnya mereka menjauhkan diri dari pemerintahan Umayah dan mencari kesempatan untuk menggulingkan rezim Umayyah. Akan tetapi, masa pemerintahan khalifah Umar ibn Abdul Aziz telah merupakan nikmat dan kebahagiaan bagi agama Islam dan kaum muslim, terutama dengan membaiknya hubungan pemerintahan dengan golongan oposisi. Misalnya hubungan dengan kaum Mawali yang dianggap warga kelas dua. Meskipun mereka dianggap warga kelas dua, tetapi berperan penting dalam ilmu pengetahuan. Memperbaiki dan meningkatkan negeri yang berada dalam wilayah Islam lebih baik daripada menambah perluasannya. Ini berarti konsolidasi internal merupakan sasaran utama kebijakan Umar. Pemerintahannya menumbuhkan kembali kekuatan demokratis, walaupun setelah ia wafat timbul lagi usaha mengembalikan otokrasi di bawah Hisyam. Usaha ini mengalami kegagalan yang akhirnya memuncak pada keruntuhan kekhalifahan Umayyah di tangan kaum Abbasiah.
Umar bin Abdul Aziz berusaha menghapuskan ketidaksamaan kedudukan antara kelompok muslim  Arab dengan muslim non-Arab. Setelah Umar mengetahui bahwa rakyat dengan sengaja menghindar dari membayar pajak dengan jalan masuk Islam, maka Umar melarang penjualan tanah oleh orang bukan Islam kepada orang lain. Ia juga menetapkan Kharaj bagi orang Islam, dan orang bukan Islam harus membayar Jizyah sebagai imbalan bagi perlindungan yang diberikan kepada mereka . Dengan demikian orang Islam diwajibkan menyokong pendapatan negara dan negara tidak mengalami kerugia. Bani Umayah tidak hanya melaksanakan perlakukan diskriminasi terhadap orang-orang Ajam (Mawali) saja. Mereka juga menyebarluaskan penyakit ini di kalangan suku-suku Arab sendiri. Mereka telah menghidupkan kebencian, kecenderungan kesukuan yang memang telah berakar di antara suku-suku Yaman dan orang Arab mudar. Para wali negeri Arab lebih cenderung kepada anggota Kabilah dari negeri asal mereka masing-masing dan bersikap fanatik kepada mereka, serta bertindak adil terhadap orangorang selain mereka Maka berkecamuklah pertikaian antara kabilah-kabilah Yaman dan Mudhar di Khurasan, yang telah dimanfaatkan oleh Abu Muslim al Khurasahi, juru dakwah kaum Bani Abbas. Mereka didorong untuk berperang satu sama lain, sehingga ia berhasil menggulingkan pemerintahan Bani Umayyah.

F.     Kerajaan Islam Saudi Arabia
Arab Saudi merupakan salah satu negara di Dunia Islam yang cukup strategis, terutama karena di negara tersebut terdapat Baitullah di Makkah yang menjadi pusat ibadah haji kaum Muslim seluruh dunia. Apalagi perjalanan Islam tidak bisa dilepaskan dari wilayah Arab Saudi. Sebab, di sanalah Rasulullah saw. lahir dan Islam bermula hingga menjadi peradaban besar dunia. Arab Saudi juga sering menjadi rujukan dalam dunia pendidikan Islam karena di negara tersebut terdapat beberapa universitas seperti King Abdul Aziz di Jeddah dan Ummul Qura di Makkah yang menjadi tempat belajar banyak pelajar Islam dari seluruh dunia. Dari negara ini, muncul Gerakan Wahabi yang banyak membawa pengaruh di Dunia Islam. Lebih jauh, Saudi sering dianggap merupakan representasi negara Islam yang berdasarkan al-Quran dan Sunnah. Namun demikian, di sisi lain, Saudi juga merupakan negara yang paling banyak dikritik di Dunia Islam. Sejak awal pembentukannya, negara ini dianggap memberontak terhadap Khilafah Utsmaniyah. Sejarahnya juga penuh dengan pertumpahan darah lawan-lawan politiknya. Banyak pihak juga menyoroti tindakan keras yang dilakukan oleh rezim ini terhadap pihak-pihak yang menentang kekuasaan Keluarga Saud. Tidak hanya itu, Saudi juga dikecam karena menyediakan daerahnya untuk menjadi pangkalan militer AS. Kehidupan keluarga kerajaan yang penuh kemewahan juga banyak menjadi sorotan. Secara ekonomi, Saudi juga menjadi incaran negara-negara besar di dunia karena faktor kekayaan minyaknya.
Salah satu kehebatan negara Saudi selama ini adalah keberhasilannya dalam menipu kaum Muslim, seakan-akan negaranya merupakan cerminan dari negara Islam yang menerapkan al-Quran dan Sunnah. Keluarga Kerajaan juga menampilkan diri mereka sebagai pelayan umat hanya karena di negeri mereka ada Makkah dan Madinah yang banyak dikunjungi oleh kaum Muslim seluruh dunia. Saudi juga terkesan banyak memberikan bantuan kepada kelompok-kelompok Islam maupun negeri-negeri Islam untuk mencitrakan mereka sebagai ‘pelayan umat’ dan  penjaga dua masjid suci (Khadim al-Haramain). Penguasa Saudi juga dikenal kejam terhadap kelompok-kelompok Islam yang mengkritisi kekuasaannya. Banyak ulama berani dan salih yang dipenjarakan hanya kerena mengkritik keluarga Kerajaan dan pengurusannya terhadap umat. Tidak hanya itu, tingkah polah keluarga Kerajaan dengan gaya hidup kapitalisme sangat menyakitkan hati umat. Mereka hidup bermewah-mewah, sementara pada saat yang sama mereka membiarkan rakyat Irak dan Palestina hidup menderita akibat tindakan AS yang terusmenerus dijadikan Saudi sebagai mitra dekat. Benarkah Saudi merupakan negara Islam? Jawabannya, “Tidak sama sekali!” Apa yang dilakukan oleh negara ini justru banyak yang menyimpang dari syariat Islam. Beberapa bukti antara lain: Berkaitan dengan sistem pemerintahan, dalam pasal 5a Konstitusi Saudi ditulis:
Pemerintah yang berkuasa di Kerajaan Saudi adalah Kerajaan. Dalam Sistem Kerajaan berarti kedaulatan mutlak ada di tangan raja. Rajalah yang berhak membuat hukum. Meskipun Saudi menyatakan bahwa negaranya berdasarkan pada al-Quran dan Sunnah, dalam praktiknya, dekrit rajalah yang paling berkuasa dalam hukum. Sementara itu, dalam Islam, bentuk negara adalah Khilafah Islamiyah, dengan kedaulatan ada di tangan Allah SWT. Dalam sistem kerajaan, rajalah yang juga menentukan siapa penggantinya; biasanya adalah anaknya atau dari keluarga dekat, sebagaimana tercantum dalam pasal 5c: Raja memilih penggantinya dan diberhentikan lewat dekrit kerajaan. Siapa pun mengetahui, siapa yang menjadi raja di Saudi haruslah orang yang sejalan dengan kebijakan AS. Sementara itu, dalam Islam, Khalifah dipilih oleh rakyat secara sukarela dan penuh keridhaan. Dalam bidang ekonomi, dalam praktiknya, Arab Saudi menerapkan sistem ekonomi kapitalis. Ini tampak nyata dari dibolehkannya riba (bunga) dalam transaksi nasional maupun internasional di negara itu. Hal ini tampak dari beroperasinya banyak bank ‘ribawi’ di Saudi seperti The British-Saudi Bank, American-Saudi Bank, dan Arab-National Bank. Hal ini dibenarkan berdasarkan bagian b pasal 1 undang-undang Saudi yang dikeluarkan oleh Raja (no M/5 1386 H). Saudi juga menjadi penyumbang ‘saham’ IMF, organisasi internasional bentuk AS yang menjadi ‘lintah darat’ yang menjerat Dunia Islam dengan riba.  Saudi adalah penanam saham no. 6 yang terbesar dalam organisasi itu. Ada bukti lain yang menunjukkan bahwa ekonomi Saudi adalah ekonomi kapitalis, yakni bahwa Saudi menjadikan tambang minyak sebagai milik individu (keluarga Kerajaan dan perusahaan asing), padahal minyak adalah milik umum (milkiyah ‘amah) yang tidak boleh diberikan kepada individu. Kerajaan Saudi juga dibangun atas dasar rasialisme dan nasionalisme. Hal ini tampak dari pasal 1 Konstitusi Saudi yang tertulis.
Kerajaan Saudi adalah Negara Islam Arab yang berdaulat (a sovereign Arab Islamic State). Sementara itu, dalam Islam, Khilafah adalah negara Islam bagi seluruh kaum Muslim di dunia, tidak hanya khusus orang Arab. Tidak mengherankan kalau di Saudi seorang Muslim yang bukan Saudi baru bisa memiliki bisnis atau tanah di Saudi kalau memiliki partner warga Saudi. Atas dasar kepentingan nasional, Raja Fahd pada 1997 mengusir ratusan ribu Muslim di luar Saudi (sebagian besar dari India, Pakistan, Mesir, dan Indonesia) dari Arab Saudi karena mereka dicap sebagai pekerja ilegal. Bahkan, untuk beribadah haji saja mereka harus memiliki paspor dan visa. Sementara itu, dalam Islam, setiap Muslim boleh bekerja dan berpergian di wilayah manapun dari Daulah Khilafah Islamiyah dengan bebas. Pada saat yang sama, Saudi mengundang ratusan non-Muslim dari Eropa dan tentara Amerika untuk bekerja di Saudi dan menempati pangkalan militer di negara itu.
Tidak hanya itu, demi alasan keamanan keluarga Kerajaan, berdasarkan data statistik kementerian pertahanan AS, negara-negara Teluk (termasuk Saudi) sejak tahun 1990-November 1995 telah menghabiskan lebih dari 72 miliar dolar dalam kontrak kerjasama militer dengan AS. Saat ini, lebih dari 5000 personel militer AS tinggal di Saudi. Apa yang terjadi di Saudi saat ini hanyalah salah satu contoh di antara sekian banyak contoh para penguasa Muslim yang melakukan pengkhianatan kepada umat. Tidak jarang, para penguasa pengkhianat umat ini menamakan rezim mereka dengan sebutan negara Islam atau negara yang berdasarkan al-Quran dan Sunnah; meskipun pada praktiknya jauh dari Islam. Karenanya, umat Islam wajib menyadari kewajiban menegakkan Daulah Khilafah Islamiyah yang sahih, bukan semu. Daulah Khilafah Islamiyah inilah yang akan menerapkan hukum-hukum Islam secara menyeluruh, yang pada giliran akan menyelesaikan berbagai persoalan umat ini. Tentu saja, hal ini harus dibarengi dengan melengserkan para penguasa pengkhianat di tengah kaum Muslim. Inilah kewajiban kita semua saat ini.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Model kepemimpinan di Iran pada dasarnya adalah sebuah modifikasi sistem pemerintahan berbasis Islam, terutama Syi’ah. Letak simpulnya adalah negara mencoba untuk menjalankan syariah Islam dengan bentuk negara republiknya, meski tidak murni dalam bentuk kekhalifahan.Sementara Arab Saudi, lebih cenderung menerapkan sistem syariah semu dengan lebih menyorot pada peran kerajaan sebagai sentrum of interest. Arab Saudi dalam sistem pemerintahannya diyakini tidak betul-betul menerapkan secara kaffah. Meski pada bagian-bagian tertentu.    
      Sedangkan monarki islam pertama kali yang di lakukan oleh bani umayah telah membuktukan bahwa islam dapat di kolaborasikan dengan segala bentuk pemerintahan, yang menjadi maslahnya ke konsistentan setiap negara yang mengkolaborasiknya untuk membuat islam berjaya dengan gayanya masing-masing.





DAFTAR PUSTAKA


Azra, A. (1996). Pergolakan Plitik Islam: Dari Fundementalisme, Modernisme dan Post Modernisme. Jakarta: Paramadina.
Na’im, A. A. (2009). Islam dan Negara Sekuler: Menegosiasikan Masa Depan Syariah. Bandung: Mizan.
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta 2000
Al Maududi, Abul A’la, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, Penerbit Mizan, Bandung, 1990
Nasution, Harun, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Bulan Bintang, Jakarta,2001.
Ali, K, Sejarah Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta 1996
Lapidus, Ira M,Sejarah Sosial Umat Islam,Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999
Nasution, Harun,Islam Ditinjau dari Beberap Aspeknya,UI Press, Jakarta, 1985

Tidak ada komentar:

Posting Komentar