Kelompok 10
MAKALAH
KONSEP REPUBLIC DAN KERAJAAN
DALAM ISLAM
Dosen Pengampu: Drs.
Agustamsyah M.I.P
DISUSUN OLEH
DANI ANDRIYANTO (1531040098)
NAZIBULLAH (1531040113)
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN
LAMPUNG
TAHUN 2017/2018
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Alhamdullilah dengan mengucapkan Pujisyukur kehadirat Allah Yang Maha Esa
atas segala rahmatNYA, sehingga makalah yang berjudul “Konsep Republic dan
Kerajaan dalam Islam’’ ini dapat tersusun hingga selesai dengan baik dan
lancar. Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari
pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun
pikirannya.
Dan harapan kami semoga makalah ini dapat dijadikan sebagai bahan acuan
untuk menambah pengetahuan, memahami dan mempelajari tentang konsep republic
dan kerajaan dalam islam, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun
menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin masih
banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat mengharapkan
saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb
Bandar Lampung, 4 Maret 2018
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL
KATA PENGANTAR ..................................................................................................... I
DAFTAR.......................................................................................................................... II
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang .......................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ...................................................................................................... 2
C. Tujuan
Masalah .......................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Islam
Memandang Politik dan Pemerintahan............................................................. 3
B. Sistem
Pemerintahan Republik................................................................................... 5
C. Sistem Pemerintahan Kerajaan (Monarki).................................................................. 6
D. Repblik Islam
Syi’ah Iran........................................................................................... 7
E. Sistem
Monarchiheridetis Bani Umayah................................................................... 10
F. Kerajaan
Islam Saudi Arabia.................................................................................... 14
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan................................................................................................................ 17
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Islam sebagai agama
yang tidak hanya mengurusi urusan ibadah,telah dipraktekan oleh pengikutnya
dalam bentuk institusi politik Negara. Semenjak wafatnya Rasulullah SAW, islam
tampil dalam bentuk yang nyata sebagai institusi Negara. Dalam banyak hal, bisa
ditemukan kenyataan-kenyataan sejarah yang menunjuk pada eksitensi Negara,
terutama semenjak berdirinya Bani Umayah hingga hancurnya Khilafah Turki
Ustmani. Dari kenyataan yang panjang sejak abad ke-7 hingga
abad ke-21 M, ummat islam telah mempraktekan kehidupan politik yang begitu kaya
dan beragam salah satunya bentuk negara republic dan bentuk negara kerajaan.
Apakah dalam Islam terdapat
konsep mengenai negara? Menurut penelitian beberapa akademisi, sebut saja di antaranya
John L. Esposito dan Muhammad Husain Haikal, tidak ada satu pun konsep mengenai
negara dalam Islam yang disepakati oleh semua sepanjang sejarah. Islam hanya memberikan instrument etis, namun
tidak memberikan rincian detilnya bagaimana bentuk suatu negara dan bagaimana
proses mengelola kelembagaannya.
Banyak individu Muslim yang
menyatakan bahwa Islam itu agama yang lengkap; ajarannya mencakup semua hal
dalam bidang kehidupan, termasuk masalah politik. Hal ini harus diakui bahwa
memang Al-Quran telah memberikan ajaran yang lengkap mengenai kehidupan
manusia. Namun yang perlu dicatat adalah, Al-Quran hanya memberi sandaran etis
dan sifatnya umum. Sementara untuk membentuk sandaran praksis dan detilnya
perlu mendapat sentuhan interpretasi atau ijtihad dari kaum Muslim. Masalah
negara misalnya, mengutip Husain Haikal, Al-Quran tidak memberikan petunjuk
langsung dan rinci bagaimana umat Islam harus membangun sebuah bentuk negara.
Negara dalam Islam masih berupa prinsip-prinsip dasar. Bagaimana bentuk negaranya,
sistem pemerintahannya, proses pelaksanaannya, dan lain-lain tidak dijelaskan.
Hal ini memungkinkan terus dibukanya ijtihad politik di dalam diri umat
Islam. Dan dalam melakukan ijtihad
tersebut, kaum Muslim umumnya akan melihat sejarah Islam sebagai referensi.
B.
Rumusan
Masalah
Ø Bagaimana
Konsep Republic dalam Islam?
Ø Bagaimana
Konsep kerajaan dalam Islam?
C.
Tujun
Masalah
Ø Untuk
mengetahui Konsep Republic dalam Islam
Ø Untuk
mengetahui Konsep Kerajaan dalam Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A. Islam Memandang Politik dan Pemerintahan
Al-Qur’an membicarakan
segala aspek kehidupan yang terkait dengan kehidupan manusia sebagaimana pernyataan Allah dalam Al-Qur’an: “ Tidaklah
Kami (Allah) luputkan sesuatu apa pun dalam Al-Qur’an ini”. Dalam kaitan ini, Yusuf
Musa menyatakan bahwa Islam adalah tatanan hidup yang lengkap, artinya ajaran
yang dibawa Islam tidak hanya menyangkut masalah agama saja, tetapi juga
terkait dengan masalah sosial, kenegaraan, dan lainnya. Namun demikian,
nyatanya, di bidang negara dan pemerintahan, misalnya, tidak ditemui nash
tentang bentuk negara dan sistem politik pemerintahan tertentu. Artinya,
Al-Qur’an tidak menetapkan suatu acuan tentang bentuk negara dan sistem politik
pemerintahan secara Muhkamat bagi penganut Al-Qur’an. Muhammad Izzah Darwazah,
ketika mengelompokkan ayat-ayat Al-Qur’an yang mencakup kenegaraan, menyatakan
bahwa ayat-ayat yang berkaitan dengan kenegaraan tidak menegaskan tentang
bentuk negara atau sistem pemerintahan dalam Islam.
Namun, menurutnya, Al-Qur’an mengisyaratkan pembentukan negara dan adanya kepala negara yang memimpin. Hal tersebut menimbulkan keanekaragaman penafsiran terhadap nash-nash yang berkaitan dengan negara. Itulah sebabnya ditemukan dalam khazanah sejarah politik Islam baik dalam pemikiran maupun praktik pemerintahan; bentuk dan sistemnya sejak zaman Rasulullah sampai sekarang di dunia Islam, tidak satu macam, tetapi beragam; mulai dari Khilafah yang republik, demokratis, dan absolute; kesultanan/keamiran yang monarki, hingga negara-negara bangsa yang repubik demokratis atau absolut, monarki demokratis dan atau absolut. Bila ditinjau dari aspek pemikiran, menurut Munawir Sjadzali, para pemikir politik Islam kontemporer dapat digolongkan ke dalam tiga aliran.
Namun, menurutnya, Al-Qur’an mengisyaratkan pembentukan negara dan adanya kepala negara yang memimpin. Hal tersebut menimbulkan keanekaragaman penafsiran terhadap nash-nash yang berkaitan dengan negara. Itulah sebabnya ditemukan dalam khazanah sejarah politik Islam baik dalam pemikiran maupun praktik pemerintahan; bentuk dan sistemnya sejak zaman Rasulullah sampai sekarang di dunia Islam, tidak satu macam, tetapi beragam; mulai dari Khilafah yang republik, demokratis, dan absolute; kesultanan/keamiran yang monarki, hingga negara-negara bangsa yang repubik demokratis atau absolut, monarki demokratis dan atau absolut. Bila ditinjau dari aspek pemikiran, menurut Munawir Sjadzali, para pemikir politik Islam kontemporer dapat digolongkan ke dalam tiga aliran.
Aliran
pertama berpendapat bahwa Islam bukanlah
semata-mata dalam pengertian sarjana Barat, yakni hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan. Sebaliknya,
Islam adalah suatu agama yang sempurna dan lengkap yang mengatur segala aspek
kehidupan manusia, termasuk sistem politik atau ketatanegaraan. Oleh karena
itu, umat Islam tidak perlu meniru sistem ketatanegaraan Barat, sejatinya
kembali kepada sistem ketatanegaraan Islam yang dipraktikkan oleh Rasulullah
dan Khulafaurrasyidin. Tokoh utama aliran ini adalah Syekh Hasan al-Banna,
Sayyid Qutb, Syekh Rasyid Ridha, dan Al-Maududi yang paling vokal.
Aliran
kedua berpendapat bahwa Islam adalah agama
dalam pengertian Barat yang tidak ada kaitannya dengan urusan kenegaraan. Nabi
Muhammad, menurut aliran ini, adalah seorang Rasul biasa seperti rasul-rasul
sebelumnya. Tugasnya tidak dimaksudkan untuk mendirikan negara dan memimpinnya.
Ia hanya mempunyai tugas tunggal, yaitu mengajak manusia kembali kepada
kehidupan yang mulia dengan menjunjung tinggi budi pekerti luhur. Tokoh aliran
ini adalah Ali Abdu al-Raziq dan Thaha Husein.
Aliran
ketiga berpendapat bahwa Islam bukanlah agama yang
serba lengkap dan bahwa di dalamnya terdapat sistem ketatanegaraan. Aliran ini
juga menolak pendapat bahwa Islam adalah agama dalam pengertian sarjana Barat.
Bagi aliran ini bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi
ia mengandung seperangkat tata nilai yang lengkap bagi kehidupan bernegara.
Tokoh yang menonjol dalam aliran ini adalah Husein Haikal dan Muhammad Abduh.
Pendapat aliran pertama
menghendaki tidak perlu umat Islam mentransfer budaya politik dan pemerintahan
dari Barat. Islam adalah sistem, mengandung konsep segala sesuatu, sudah
lengkap sebagai yang terdapat pada zaman Nabi Muhammad SAW dan Khulafaurrasyidin.
Pendapat aliran kedua yang menyatakan bahwa Islam adalah agama dalam pengertian
Barat, maka hal-hal yang berkaitan dengan sistem politik dan pemerintahan,
sebaiknya umat Islam meniru Barat. Sementara itu, aliran ketiga sebagai sintesa
dari kedua aliran di atas, tampaknya, memandang bila Islam menetapkan sistem
ketatanegaraan, itu berarti membawa konsep yang tidak fleksibel. Karena
masyarakat secara sosiologis selalu berubah, maka sistem pun harus berubah.
Jika demikian, berarti Al-Qur’an tidak mampu mngantisipasi dinamika kehidupan
masyarakat, karena suatu sistem cenderung bersifat statis dan mengekang
dinamika masyarakat. Lebih-lebih bila sistem itu diwahyukan dan bersifat
absolut. Akibatnya membuat Islam kehilangan alat vitalnya dan fungsinya sebagai
rahmat dan petunjuk. Oleh karenanya aliran ketiga memandang dan berpendirian
bahwa Islam tidak memiliki sistem ketatanegaraan yang baku untuk diikuti umat
Islam, yang demikian membuat Islam mampu mengantisipasi dinamika masyarakat.
Namun, aliran ini berpendapat bahwa Islam mengandung prinsip-prinsip dasar sebagai tata nilai etik dalam
penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Di atas tata nilai dan etik itulah
masyarakat berkembang mengikuti perubahan zaman, sehingga dengan demikian Islam
itu fungsional sepanjang zaman, karena penganutnya tidak dikekang oleh suatu
sistem ketatanegaraan tertentu. Mereka bebas memilih.
B. Sistem Pemerintahan
Republik
Republik adalah sebuah negara
di mana tampuk pemerintahan akhirnya bercabang dari rakyat, bukan dari prinsip
keturunan bangsawan dan sering dipimpin atau dikepalai oleh seorang presiden.
Istilah ini berasal dari bahasa Latin res publica, atau "urusan
awam", yang artinya kerajaan dimilik serta dikawal oleh rakyat. Namun
republik berbeda dengan konsep demokrasi. Terdapat kasus dimana negara republik
diperintah secara totaliter. Ketua negara suatu republik biasanya seorang saja,
yaitu Presiden, tetapi ada juga beberapa pengecualian misalnya di Swiss,
terdapat majelis tujuh pemimpin yang merangkap sebagai ketua negara, dipanggil
Bundesrat, dan di San Marino, jabatan ketua negara dipegang oleh dua orang.
Republikanisme adalah
pandangan bahwa sebuah republik merupakan bentuk pemerintahan terbaik.
Republikanisme juga dapat mengarah pada ideologi dari banyak partai politik
yang menamakan diri mereka Partai Republikan. Beberapa dari antaranya adalah,
atau mempunyai akarnya dari anti-monarkisme. Untuk kebanyakan partai republikan
hanyalah sebuah nama dan partai-partai ini, serta pihak yang berhubungan dengan
mereka, mempunyai sedikit keserupaan selain dari nama mereka.
Sistem pemerintahan
republik dibedakan menjadi 3 macam, yaitu :
1.
Republik Absolut
Dalam republik absolut,
pemerintahan bersifat diktator. Hukum dimanipulasi hingga mendukung
kekuasaannya. Contoh Jerman pada masa Hitler, Italia pada masa Mussolini, dan
Spanyol pada masa Jenderal Franco. Perbedaan utama antara monarki absolut
dengan republik absolut adalah bahwa dalam monarki absolut kekuasaan raja
diwarisi dari para pendahulunya, sedangkan dalam republik absolut kekuasaan
bisa didapat melalui berbagai cara, seperti kudeta (perebutan kekuasaan) atau
pemilu yang curang.
2.
Republik Konstitusional
Dalam pemerintahan republik
konstitusional kekuasaan kepala negara dan kepala pemerintahan tidak
diwariskan. Kedudukan politik dapat diperebutkan mel alui cara-cara yang sah,
seperti yang ditetapkan dalam undang-undang. Dalam undang-undang diatur
mengenai bagaiman kekuasaan dijalankan, hak, dan kewajiban warga negara, serta
aturan-aturan lain dalam kehidupan kenegaraan. Dlam pemerintahan ini, presiden
menjadi kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Menteri diangkat dan
diberhentikan oleh presiden dan bertanggung jawab kepada presiden. Contoh
Amerika Serikat, dan Republik Indonesia.
3.
Republik Parlementer
Dalam pemerintahan ini,
presiden sebagai kepala negara yang tidak aktifmemimpin penyelenggaraan
pemerintahan. Kepala pemerintahan dipegang oleh perdana menteri yang memimpin
kabinet. Para menteri bertanggung jawab pada parlemen. Presiden tidak dapat
diganggu gugat. Presiden memiliki hak prerogatif, yakni hak yang bersifat
kehormatan sehingga hanya sebagai lambang. Contoh Jerman, Italia, dan India.
C. Sistem Pemerintahan
Monarki (kerajaan)
Monarki, berasal dari bahasa
Yunani monos (μονος) yang berarti satu, dan archein (αρχειν) yang berarti
pemerintah. Monarki merupakan sejenis pemerintahan yang dipimpin oleh seorang
penguasa monarki. Monarki atau sistem pemerintahan kerajaan adalah sistem
tertua di dunia. Pada awal kurun ke-19, terdapat lebih 900 tahta kerajaan di
dunia, tetapi menurun menjadi 240 dalam abad ke-20. Sedangkan pada dekade
kedelapan abad ke-20, hanya 40 takhta saja yang masih ada. Suatu bentuk
pemerintahan yang dipegang oleh satu orang demi kepentingan umum.
Sistem pemerintahan
monarki merupakan sistem tertua didunia. Pengertian sistem pemerintahan monarki
menurut para ahli, yaitu :
Ø Menurut
Garner
sistem pemerintahan
monarki menyatakan bahwa setiap pemerintahan yang didalamnya menerapkan
kekuasaan yang akhir atau tertinggi pada seseorang tanpa melihat pada sumber sifat-sifat
dasar pemilihan dan batas waktu jabatannya.
Ø Menurut
Jellinek
sistem pemerintahan
monarki adalah pemerintahan kehendak satu fisik dan menekankan bahwa
karakteristik sifat-sifat dasar monarki adalah kompetensi untuk memperlihatkan
kekuasaan tertinggi negara.
Sistem
pemerintahan monarki dibedakan menjadi 3 macam, yaitu :
1) Monarki
Absolut
Bentuk pemerintahan monarki absolut dikepalai
oleh seorang raja, ratu, syah, atau kaisar. Pada sistem monarki absolut ini
terdapat kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Contoh : Prancis
dimana kekuasaan Louis XIV.
2) Monarki
Konstitusional
Dalam pemerintahan konstitusional partisipasi
rakyat dibatasi.
3) Monarki
Parlementer
Dalam pemerintahan parlementer kekuasaan
tertinggi ditangan perlemen. Jatuh tegaknya pemerintah bergantung pad
kepercayaan parlemen kepada para menteri. Raja tidak memegang pemerintahan
dengan nyata, tetapi para menteri yang
bertanggung jawab atas nama dewan maupun sendiri-sendiri, sesuai tugas masing-masing.
D. Republik Islam Syi’ah
Iran
Revolusi Iran tahun
1979 telah mampu merubah wajah Iran yang moderat dan sekuler menjadi sebuah
negara yang Islamis. Iran, sebelum revolusi 1979 merupakan negara moderat dan
sekuler. Namun demikian, kedekatan masyarakat dengan para ulamanya yang
memiliki image yang baik serta rentang sejarah yang cukup lama, sehingga hal
ini memudahkan terjadinya transformasi “kesadaran dalam beragama”. Setelah Imam
Khomeini berhasil menggulingkan tirani Reza Pahlevi dari kedudukannya sebagai
Syah Iran, ia tidak memaksakan kehendaknya untuk mendirikan dan membentuk
sebuah Negara Islam. Namun lebih memilih mengembalikan Iran kepada rakyatnya.
Selanjutnya, merekalah yang memilih Iran sebagai Negara Islam dengan capaian
suara 85%. Hal ini merupakan buah dari “kesadaran dalam beragama” yang telah
lama tertanam dalam masyarakat Iran(Sumarna).
Revolusi Islam Iran
tahun 1979 adalah kebangkitan rakyat yang bersumberkan pada ajaran dan
nilai-nilai Islam. Pasca kemenangan revolusi, pemerintah bersama rakyat Iran
bergotong-royong membangun kembali negerinya di berbagai bidang. Islam sebagai
agama yang sempurna dan komprehensif, selalu menekankan pentingnya
mengembangkan ilmu pengetahuan dan memajukan taraf hidup umat. Terkait hal ini,
Islam mengajarkan dua prinsip utama, yaitu: pertama,
sikap mandiri dan tidak bergantung pada non-muslim, dan kedua adalah percaya diri dan bertawakkal kepada yang Maha Kuasa
untuk memajukan kehidupan umat muslim. Ajaran luhur Islam ini merupakan daya
penggerak bagi kaum muslim untuk memutus ketergantungan mereka terhadap pihak
lain dan menentang penjajahan atas dirinya. Pesan kemandirian inilah yang
selalu diperjuangkan Revolusi Islam. Sepanjang 31 tahun sejak kemenangan
Revolusi Islam.
Republik Islam Iran berhasil
mencapai kemajuan besar di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, politik,
ekonomi, sosial, dan militer. Yang menarik, gerakan perjuangan revolusi Islam
Iran terlahir dari masjid-masjid dan pusat-pusat keislaman. Aksi demo besar
yang terjadi di setiap kota untuk menentang rezim shah dan menyuarakan dukungan
kepada Imam Khomeini biasanya dimulai dari masjid. Dalam tradisi masyarakat
Iran, khususnya Syi’ah, konsep syariat memiliki pemahaman dan makna yang cukup
luas, mencakup permasalahan aqidah. Fiqh dan akhlak. Fiqh sendiri terbagi pada
dua bab besar, pertama, bersifat personal dan kedua, bersifat sosial yang
kesemuanya itu harus menjadi kesatuan yang tunggal walaupun secara konseptual
berbeda (Zhamir, 1995). Disisi lain, tugas para ulama bukan saja menyebarkan
ataupun mengajarkan hukum-hukum fiqh belaka. Mereka juga memiliki tanggung
jawab atas terciptanya “kesadaran beragama” bagi awam agar mereka merasa
memiliki keterbutuhan atas syariat Islam. Syi’ah adalah mazhab politik pertama
yang lahir dalam Islam. Mazhab mereka tampil pada akhir pemerintahan Utsman,
kemudian tampil pada akhir masa Ali.
Pada perkembangan selanjutnya, aliran Syi’ah ini terpecah menjadi
puluhan cabang atau sekte, hal ini disebabkan karena cara pandang yang berbeda
dikalangan mereka mengenai sifat imam ma’shum atau tidak dan perbedaan didalam
menentukan pengganti imam. Pemimpin Syi’ah Iran menetapkan bahwa seorang imam
harus memenuhi kriteria sebagai berikut;
1.
Harus ma’shum
(terpelihara) salah, lupa, dan maksiat.
2.
Seorang imam boleh
membuat hal luar biasa dari adat kebiasaan.
3.
Seorang imam harus
memiliki ilmu yang meliputi setiap sesuatu yang berhubungan dengan syari’at.
4.
Imam adalah pembela
agama dan pemelihara kemurnian dan kelestarian agar terhindar dari
penyelewengan.
Menariknya,
tidak seperti kelompok syi’ah mayoritas lainnya, Syi’ah Zaidiyah tidak menganut
paham dan teori imam bersembunyi. Bagi mereka imam harus memimpin umat dan
berasal dari keturunan Ali dan Fatimah, Syi’ah Zaidiyah tidak meyakini bahwa
Nabi telah menetapkan orang dan nama tertentu untuk menjadi imam. Nabi hanya
menetapkan sifat – sifat yang mesti dimiliki seorang imam yang akan
menggantikan beliau. Terjadinya pengkultusan terhadap diri Ali oleh kaum Syi’ah
sebagaimana dijelaskan oleh Suyuti merupakan tidak bisa lepas dari pendapat
Khawarij yang mengkafirkan Ali sejak peristiwa tahkim (arbitrase). Untuk
melihat bagaimana nilai Islam diterapikan di Iran, penting kiranya merunut
pemahaman nilai Islam sendiri yang diambil dari pemikiran Imam Besar Iran, Imam
Yatullah Al Khomeini(Raharjo, 2010).
Imam
Khomeini merupakan imam besar yang pemikirannya banyak menjadi rujukan bahkan
pedoman, terutama setelah revolusi Islam Iran berlangsung dengan jatuhnya
Pemerintahan Kesultanan Syah Pahlevi tahun 1979. Imam Khomeini meletakkan
fungsi dan arti fuqaha dalam konsep yang universal, bukan hanya ahli di bidang
hukum Islam atau hanya merupakan tokoh spriritual. Baginya juga tidak ada
pemisahan antara agama dan negara (nonsekularisme). Doktrin Islam diterapkan
dalam kehidupan kemasyarakatan, patriotisme adminstrasi keadilan dan
penentangan terhadap tirani dan dispotisme. Islam mengingatkan kepada
pemeluknya untuk tidak tunduk kepada kekuasaan asing. Inilah sebabnya, mengapa
kaum imperialis berusaha mengacaukan pikiran rakyat dengan menarik garis
pemisah antara antara agama dan pemerintahan dan politik. Baginya, ulama atau
ahli hukum (fuqaha) memiliki dharma (kewajiban) untuk menegakkan hukum-hukum
Tuhan yang intinya adalah sebuah misi yang dijalankan oleh negara dan
pemerintahan yang adil. Republik Islam Iran pada dasarnya tidak
mengaktualisasikan konsep Imamah dalam tradisi Syi’ah yang konservatif.
Namun
meletakkan konsep imamah dalam konteks modern. Artinya, pemimpin Islam dan
negara tidak mesti berada pada garis keturunan Ali bin Abi Thalib. Kepemimpinan
Islam Iran terletak pada kaum fuqaha dan tidak kepada kaum cendekiawan didikan
Barat. Yang menarik dari Republik Islam Iran adalah komitmen negara dan
pemerintah dalam menjalankan syari’at Islam tetapi sekaligus juga berusaha
mencari bentuk demokrasi dalam pemerintahan maupun dalam sistem politik. Dalam
sistem ekonomi, Iran berusaha untuk menerapkan prinsip-prinsip syar’ah dalam
berekonomi. Secagai contoh pemerintah Iran secara total mengkonversi sistem
bank konvensional menjadi sepenuhnya bank Islam atau bank syari’ah. Pemerintah
Iran juga berusaha untuk menjalin hubungan dagang terutama dengan negara-negara
Muslim. Dalam sistem negara dan pemerintahan, Iran melakukan model
ideologization of religion untuk membentuk suatu religious ideology. Menurut
Geiger, ideologi adalah suatu sistem gagasan tentang realitas sosial, yang
diartikulasikan dengan konsustensi internal dan dielaborasi secara logis atas
dasar asumsi-asumsi awal sehingga membentuk korpus tertulis, bebas dari
pemikiran orang yang dapat dijadikan rujukan dan dapat menjadi dasar
penafsiran, komentar dan indoktrinas.
Dalam
ini, ideologsasi Islam menurut Ali Merad berarti merumusklan kandungan Islam
dalam bentuk norma dan nilai mengenai tatanan sosial-politik. Pemerintahan Iran
yang ada sekarang memang mendasarkan diri pada konsep Wilayah al Faqih yang
ditawarkan oleh Imam Khomeini. Dalam realitas pemerintahan dan sistem politik
Iran kontemporer agaknya terus mencari bentuk yang dipengaruhi oleh aliran
aliran pemikiran, bukan saja mengandung perbedaan antara kaum ulama dan kaum
cendekiawan, tetapi juga perbedaan di kalangan kaum mullah sendiri.
E. Sistem
Monarchiheridetis Bani Umayah
Tampilnya pemerintahan
Dinasti Umayah yang mengambil bentuk Monarki, merupakan babak kedua dari
praktek pemerintahan umat Islam dalam sejarah. Naik tahtanya Bani Umayah tidak
hanya menunjukkan suatu perubahan dinasti, tetapi juga memutarbalikkan suatu
prinsip dan lahirnya beberapa faktor baru yang menggunakan pengaruh sangat kuat
atas kekayaan kerajaan dan perkembangan bangsa.
Berkuasanya Muawiyah atas kendali pemerintahan merupakan tahapan peralihan yang menyimpangkan negara Islam atau Daulah Islamiyah dari sistem Khilafah ke sistem kerajaan. Abu Musa al Asyari menjelaskan mengenai pandangan sahabat Nabi SAW mengenai perbedaan antara kekhalifahan dan kerajaan yang menunjukkan pendirian mereka secara lebih jelas, dengan kata-katanya : “kepemimpinan yang benar adalah berdasarkan musyawarah. Adapun kerajaan adalah yang dimenangkan dengan kekuatan pedang”.
Berdirinya pemerintahan Dinasti Umayah tidak semata-mata peralihan kekuasaan, namun peristiwa tersebut mengandung banyak implikasi, diantaranya perubahan prinsip dan berkembangnya corak baru yang sangat mempengaruhi Imperium dan perkembangan umat Islam. Semenjak Muawiyah berkuasa, raja-raja Umayah yang berkuasa kelak menunjuk penggantinya dan para pemuka agama menyatakan sumpah setia di hadapan raja. Sistem pengangkatan penguasa seperti ini, bertentangan dengan prinsip dasar dan ajaran permusyawaratan.
Berkuasanya Muawiyah atas kendali pemerintahan merupakan tahapan peralihan yang menyimpangkan negara Islam atau Daulah Islamiyah dari sistem Khilafah ke sistem kerajaan. Abu Musa al Asyari menjelaskan mengenai pandangan sahabat Nabi SAW mengenai perbedaan antara kekhalifahan dan kerajaan yang menunjukkan pendirian mereka secara lebih jelas, dengan kata-katanya : “kepemimpinan yang benar adalah berdasarkan musyawarah. Adapun kerajaan adalah yang dimenangkan dengan kekuatan pedang”.
Berdirinya pemerintahan Dinasti Umayah tidak semata-mata peralihan kekuasaan, namun peristiwa tersebut mengandung banyak implikasi, diantaranya perubahan prinsip dan berkembangnya corak baru yang sangat mempengaruhi Imperium dan perkembangan umat Islam. Semenjak Muawiyah berkuasa, raja-raja Umayah yang berkuasa kelak menunjuk penggantinya dan para pemuka agama menyatakan sumpah setia di hadapan raja. Sistem pengangkatan penguasa seperti ini, bertentangan dengan prinsip dasar dan ajaran permusyawaratan.
Suksesi kepemimpinan
secara turun temurun yang berdasarka politik, lebih daripada kepentingan
daripada keagamaan ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya menyatakan
setia terhadap anaknya sendiri, Yazid. Muawiyah bermaksud mencontoh
Monarchiheridetis di Persia dan Kaisar di Byzantine. Hal ini menjadi
komprehensif di dalam kata-katanya “Saya adalah raja pertama dari raja-raja.
Menjalankan pemerintahan berdasarkan musyawarah merupakan kaidah yang penting
antara kaidah-kaidah azasi bagi pemerintahan Islam. Namun ketika sistem
khilafah telah beralih menjadi sistem kerajaan, berubah pulalah kaidah ini.
Permusyawaratan diganti dengan kediktatoran pribadi dan para raja menjauhkan
diri dari para ahli ilmu yang berani menjauhkan diri
dari para raja.
Sehubungan dengan
sistem permusyawaratan tidak lagi diterapkan, adanya bai’at tidak lagi
merupakan persyaratan untuk meraih kekuasan dan mempertahankannya. Bencana
besar yang telah diakibatkan oleh keadaan ini adalah kosongnya suatu masyarakat
yang luas dan maju dari sebuah badan yang memiliki kekuasaan untuk memutuskan
segala masalah hukum secara tuntas, sehingga rakyat dapat mempercayakan
kepadanya urusan-urusan mereka setiap kali mereka mengingkarinya. Selama satu
abad penuh, umat tidak memiliki konstitusi yang dapat diandalkan. Perubahan
yang terjadi dengan datangnya sistem yang kedua untuk menggantikan tempat yang
pertama dan dampak yang timbul terhadap kehidupan kaum muslimin secara umum
diantaranya sistem Arabisasi yang mulai diterapkan atau munculnya kefanatikan
kesukuan (Ashabiyah Qaumiyah) yang mampu menghancurkan kesatuan bangsa Arab.
Setelah Islam datang, hapuslah fanatik Arab yang berdasarkan keturunan suku,
dan semua orang Arab tergabung dalam ikatan Islam yang dinamakan al Jamiah al
Islamiyah, yang selama berkuasanya Khualfaur Rasyidin tetap
mengikat erat bangsa Arab.
Ajaran perjuangan nabi
agung, Muhammad SAW menghapuskan fanatisme ras dan keusukuan selama masa
republik Islam. Perlakuan yang sama rata antara manusia semuanya merupakan
ciri-ciri masa Islam yang pertama dengan prinsip-prinsip dasar Islam dan
jiwanya yang jauh dari segala bentuk fanatisme kesukuan, kebangsaan. Ajaran ini
dapat dipertahankan selama pemerintahan khulafaur rasyidin. Pada akhir
jabatannya, Umar RA merasa khawatir akan bangkitnya kembali berbagai macam
ashabiyah kesukuan di kalangan bangsa Arab, yang pada waktu itu belum sama
sekali hilang. Meskipun kuatnya pengaruh revolusi yang dicetuskan oleh Islam di
antara mereka, sehingga ia merasa khawatir bahwa dengan bangkitnya kembali
perasaan ashabiyah seperti itu akan menimbulkan fitnah (kekacauan) yang melanda
Islam dan kaum muslimin. Setelah Bani Umayah merebut kendali Khilafah, mereka
menghidupakn kembali “fanatik Arab”, dan mengembangkan lagi adat kebiasan
“badawah” (desa). Maka berkuasalah Khusunah (kekasaran) desa atas politik dan
pemerintah mereka, dengan meninggalkan kehalusan budi bahasanya. Yang mereka
benar-benar amalkan dari ajaran jahiliyah yaitu, Fanatik Quraisy dan
pengutamaan kaum Quraisy atau suku-suku lainnya, yang menyebabkan timbul
kemarahan dalam kalangan kabilah-kabilah lain. Khilafah Umayah menghidupkan
kembali kecemburuan rasial tersebut untuk membantu mencapai tujuan mereka
dengan mengadu domba satu suku dengan suku lain.
Hal ini dilakukan
supaya kekuatan kabilah-kabilah Arab lainnya hancur. Kendati sebelumnya Islam
telah meleburkan setiap insan yang telah menerima agama Allah dan membentuk
kembali mereka semua sebagai satu umat yang mmperoleh hak-hak yang sama
didalamnya. Sejak semula, pemerintahan Bani Umayah telah tampil dengan warna
ke-Arabannya yang murni dan bersikeras untuk mempertahankannya, sehingga segala
persamaan hak antara kaum muslimin yang
berbangsa Arab dengan kaum muslimin yang non-Arab, hampir-hampir hilang dan
luruh.
Dinasti ini bersifat
ekslusif karena lebih mengutamakan orang-orang berdarah Arab duduk dalam
pemerintahan, orang non Arab tidak mendapat kesempatan yang sama. Politik
“kasta” yang dijalankan Bani Umayah ini, dimana dalam lingkungan kaum muslimin
orang-orang Arab ditempatkan pada derajat yang tertinggi dan lebih diutamakan
dari orang-orang non Arab menjadikan bertambah kesombongan orang-orang Arab
atas bangsa lain, terutama muslim non Arab sendiri, bahkan mereka diberi nama
jelek yaitu Al Mawaly (budak tawanan perang yang sudah dimerdekakan). Sering
juga disebut al Hamra (si merah). Orang Arab memandang dirinya Sayid (Tuan)
atas orang non Arab Abdul Malik ibn Marwan, karena kefanatikannya kepada bangsa
Arab, melakukan gerakan Arabisme, yaitu semua penduduk daerah Islam diwajibkan
berbahasa Arab, semua peraturan negara yang ditulis dengan bahasa Romawi dan
Persia disalin ke dalam bahasa Arab. Akhirnya ditetapkan bahwa bahasa resmi
negara adalah bahasa Arab, semua orang Islam terpaksa belajar bahasa Arab. Adat
istiadat serta tata cara kehidupan juga harus menjadi orang Arab Untuk
menyempurnakan pengetahuan orang-orang bukan Arab tentang bahasa Arab, maka
pengenalan bahasa dan tata krama dalam kebiasaan Arab mulai dilakukan. Selain
merubah bahasa administrasi, Abdul Malik juga melakukan pembaruan dengan
mencetak uang sendiri di tahun 659 M dengan memakai kata-kata dan tulisan Arab.
Dinar terbuat dari emas dan dirham dari perak.
Sampai dengan masa
pemerintahan Abdul Malik umat muslim hanya berkewajiban membayar zakat dan
dibebaskan dari pajak lainnya. Hal ini mendorong orang non muslim untuk memeluk
agama Islam. Mereka meninggalkan pertaniannya, pindah ke kota untuk menjadi
militer Islam. Mereka inilah yang disebut Mawali. Fenomena yang demikian
menyebabkan timbulnya problem perekonomian negara. Pada satu sisi perpindahan
agama tersebut mengakibatkan berkurangnya sumber pendapatan negara dari sektor
pajak. Pada sisi lain, bertambahnya militer dari Islam dari kaum Mawali
tersebut memerlukan dana subsidi yang makin besar. Untuk mengatasi masalah ini,
atas saran Hajjaj ibn Yusuf, Abdul Malik mengembalikan beberapa militer ke
posisinya semula, yakni sebegai petani, dan menetapkan atas kewajiban membayar
sejumlah pajak, sebagaimana kewajiban sebelum memeluk Islam, yaknik sebesar
Kharaj dan Jizyah.Dalam hal, Maududi menjelaskan bahwa para penguasa telah
berdalil bahwa tidnakan memeluk agama Islam dari orang-orang ini semata-mata
hanya karena mereka ingin melepaskan diri dari Jizyah. Sedangkan sebab
diberlakukannya Jizyah atas orang tersebut sebenarnya ialah ketakutan para
penguasa akan kurangnya pemasukan baitul maal.
Dengan ditetapkannya
Jizyah bagi orang yang baru memeluk Islam, berarti mereka telah melanggar hukum
Islam dan merupakan hambatan terbesar bagi tersiarnya agama Islam secara lebih
luas. Penonjolan bentuk baru dari imperium Arab-Muslim tidak menghilangkan
ketidaktentraman yang tumbuh di beberapa perkampungan militer. Kelompok Mawali
yang bekerja sebagai tentara di bidang kemiliteran dan sebagai administrasi
dalam birokrasi pemerintahan menuntut persamaan status dan previlese dengan
kelompok Arab. Pasukan militer menuntut hak untuk berperan dalam diwan-diwan
kemiliteran. Para petani yang memeluk Islam juga menuntut hak terhadap
pembebasan dari pungutan pajak, sama seperti kaum Arab lainnya. Dalam
perluasan kerajaan Islam, jasa para
Maula tidak kurang pentingnya, dibandingkan jasa para orang Islam Arab. Namun
para khalifah Umayah menghapuskan semua kewenangan dan hak istimewa mereka di
negara itu.
Akibatnya mereka
menjauhkan diri dari pemerintahan Umayah dan mencari kesempatan untuk
menggulingkan rezim Umayyah. Akan tetapi, masa pemerintahan khalifah Umar ibn
Abdul Aziz telah merupakan nikmat dan kebahagiaan bagi agama Islam dan kaum
muslim, terutama dengan membaiknya hubungan pemerintahan dengan golongan
oposisi. Misalnya hubungan dengan kaum Mawali yang dianggap warga kelas dua.
Meskipun mereka dianggap warga kelas dua, tetapi berperan penting dalam ilmu
pengetahuan. Memperbaiki dan meningkatkan negeri yang berada dalam wilayah
Islam lebih baik daripada menambah perluasannya. Ini berarti konsolidasi
internal merupakan sasaran utama kebijakan Umar. Pemerintahannya menumbuhkan
kembali kekuatan demokratis, walaupun setelah ia wafat timbul lagi usaha
mengembalikan otokrasi di bawah Hisyam. Usaha ini mengalami kegagalan yang
akhirnya memuncak pada keruntuhan kekhalifahan Umayyah di tangan kaum Abbasiah.
Umar bin Abdul Aziz
berusaha menghapuskan ketidaksamaan kedudukan antara kelompok muslim Arab dengan muslim non-Arab. Setelah Umar
mengetahui bahwa rakyat dengan sengaja menghindar dari membayar pajak dengan
jalan masuk Islam, maka Umar melarang penjualan tanah oleh orang bukan Islam
kepada orang lain. Ia juga menetapkan Kharaj bagi orang Islam, dan orang bukan
Islam harus membayar Jizyah sebagai imbalan bagi perlindungan yang diberikan
kepada mereka . Dengan demikian orang Islam diwajibkan menyokong pendapatan
negara dan negara tidak mengalami kerugia. Bani Umayah tidak hanya melaksanakan
perlakukan diskriminasi terhadap orang-orang Ajam (Mawali) saja. Mereka juga
menyebarluaskan penyakit ini di kalangan suku-suku Arab sendiri. Mereka telah
menghidupkan kebencian, kecenderungan kesukuan yang memang telah berakar di
antara suku-suku Yaman dan orang Arab mudar. Para wali negeri Arab lebih cenderung
kepada anggota Kabilah dari negeri asal mereka masing-masing dan bersikap
fanatik kepada mereka, serta bertindak adil terhadap orangorang selain mereka
Maka berkecamuklah pertikaian antara kabilah-kabilah Yaman dan Mudhar di
Khurasan, yang telah dimanfaatkan oleh Abu Muslim al Khurasahi, juru dakwah
kaum Bani Abbas. Mereka didorong untuk berperang satu sama lain, sehingga ia
berhasil menggulingkan pemerintahan Bani Umayyah.
F. Kerajaan Islam Saudi
Arabia
Arab Saudi merupakan
salah satu negara di Dunia Islam yang cukup strategis, terutama karena di
negara tersebut terdapat Baitullah di Makkah yang menjadi pusat ibadah haji
kaum Muslim seluruh dunia. Apalagi perjalanan Islam tidak bisa dilepaskan dari
wilayah Arab Saudi. Sebab, di sanalah Rasulullah saw. lahir dan Islam bermula
hingga menjadi peradaban besar dunia. Arab Saudi juga sering menjadi rujukan
dalam dunia pendidikan Islam karena di negara tersebut terdapat beberapa
universitas seperti King Abdul Aziz di Jeddah dan Ummul Qura di Makkah yang
menjadi tempat belajar banyak pelajar Islam dari seluruh dunia. Dari negara
ini, muncul Gerakan Wahabi yang banyak membawa pengaruh di Dunia Islam. Lebih
jauh, Saudi sering dianggap merupakan representasi negara Islam yang
berdasarkan al-Quran dan Sunnah. Namun demikian, di sisi lain, Saudi juga
merupakan negara yang paling banyak dikritik di Dunia Islam. Sejak awal
pembentukannya, negara ini dianggap memberontak terhadap Khilafah Utsmaniyah.
Sejarahnya juga penuh dengan pertumpahan darah lawan-lawan politiknya. Banyak
pihak juga menyoroti tindakan keras yang dilakukan oleh rezim ini terhadap
pihak-pihak yang menentang kekuasaan Keluarga Saud. Tidak hanya itu, Saudi juga
dikecam karena menyediakan daerahnya untuk menjadi pangkalan militer AS.
Kehidupan keluarga kerajaan yang penuh kemewahan juga banyak menjadi sorotan.
Secara ekonomi, Saudi juga menjadi incaran negara-negara besar di dunia karena
faktor kekayaan minyaknya.
Salah satu kehebatan
negara Saudi selama ini adalah keberhasilannya dalam menipu kaum Muslim,
seakan-akan negaranya merupakan cerminan dari negara Islam yang menerapkan
al-Quran dan Sunnah. Keluarga Kerajaan juga menampilkan diri mereka sebagai
pelayan umat hanya karena di negeri mereka ada Makkah dan Madinah yang banyak
dikunjungi oleh kaum Muslim seluruh dunia. Saudi juga terkesan banyak
memberikan bantuan kepada kelompok-kelompok Islam maupun negeri-negeri Islam
untuk mencitrakan mereka sebagai ‘pelayan umat’ dan penjaga dua masjid suci (Khadim al-Haramain).
Penguasa Saudi juga dikenal kejam terhadap kelompok-kelompok Islam yang
mengkritisi kekuasaannya. Banyak ulama berani dan salih yang dipenjarakan hanya
kerena mengkritik keluarga Kerajaan dan pengurusannya terhadap umat. Tidak
hanya itu, tingkah polah keluarga Kerajaan dengan gaya hidup kapitalisme sangat
menyakitkan hati umat. Mereka hidup bermewah-mewah, sementara pada saat yang
sama mereka membiarkan rakyat Irak dan Palestina hidup menderita akibat
tindakan AS yang terusmenerus dijadikan Saudi sebagai mitra dekat. Benarkah
Saudi merupakan negara Islam? Jawabannya, “Tidak sama sekali!” Apa yang
dilakukan oleh negara ini justru banyak yang menyimpang dari syariat Islam.
Beberapa bukti antara lain: Berkaitan dengan sistem pemerintahan, dalam pasal 5a
Konstitusi Saudi ditulis:
Pemerintah yang berkuasa
di Kerajaan Saudi adalah Kerajaan. Dalam Sistem Kerajaan berarti kedaulatan
mutlak ada di tangan raja. Rajalah yang berhak membuat hukum. Meskipun Saudi
menyatakan bahwa negaranya berdasarkan pada al-Quran dan Sunnah, dalam
praktiknya, dekrit rajalah yang paling berkuasa dalam hukum. Sementara itu,
dalam Islam, bentuk negara adalah Khilafah Islamiyah, dengan kedaulatan ada di
tangan Allah SWT. Dalam sistem kerajaan, rajalah yang juga menentukan siapa
penggantinya; biasanya adalah anaknya atau dari keluarga dekat, sebagaimana
tercantum dalam pasal 5c: Raja memilih penggantinya dan diberhentikan lewat
dekrit kerajaan. Siapa pun mengetahui, siapa yang menjadi raja di Saudi
haruslah orang yang sejalan dengan kebijakan AS. Sementara itu, dalam Islam, Khalifah
dipilih oleh rakyat secara sukarela dan penuh keridhaan. Dalam bidang ekonomi,
dalam praktiknya, Arab Saudi menerapkan sistem ekonomi kapitalis. Ini tampak
nyata dari dibolehkannya riba (bunga) dalam transaksi nasional maupun
internasional di negara itu. Hal ini tampak dari beroperasinya banyak bank
‘ribawi’ di Saudi seperti The British-Saudi Bank, American-Saudi Bank, dan
Arab-National Bank. Hal ini dibenarkan berdasarkan bagian b pasal 1
undang-undang Saudi yang dikeluarkan oleh Raja (no M/5 1386 H). Saudi juga
menjadi penyumbang ‘saham’ IMF, organisasi internasional bentuk AS yang menjadi
‘lintah darat’ yang menjerat Dunia Islam dengan riba. Saudi adalah penanam saham no. 6 yang
terbesar dalam organisasi itu. Ada bukti lain yang menunjukkan bahwa ekonomi
Saudi adalah ekonomi kapitalis, yakni bahwa Saudi menjadikan tambang minyak
sebagai milik individu (keluarga Kerajaan dan perusahaan asing), padahal minyak
adalah milik umum (milkiyah ‘amah) yang tidak boleh diberikan kepada individu.
Kerajaan Saudi juga dibangun atas dasar rasialisme dan nasionalisme. Hal ini
tampak dari pasal 1 Konstitusi Saudi yang tertulis.
Kerajaan Saudi adalah
Negara Islam Arab yang berdaulat (a sovereign Arab Islamic State). Sementara
itu, dalam Islam, Khilafah adalah negara Islam bagi seluruh kaum Muslim di
dunia, tidak hanya khusus orang Arab. Tidak mengherankan kalau di Saudi seorang
Muslim yang bukan Saudi baru bisa memiliki bisnis atau tanah di Saudi kalau
memiliki partner warga Saudi. Atas dasar kepentingan nasional, Raja Fahd pada
1997 mengusir ratusan ribu Muslim di luar Saudi (sebagian besar dari India,
Pakistan, Mesir, dan Indonesia) dari Arab Saudi karena mereka dicap sebagai
pekerja ilegal. Bahkan, untuk beribadah haji saja mereka harus memiliki paspor
dan visa. Sementara itu, dalam Islam, setiap Muslim boleh bekerja dan
berpergian di wilayah manapun dari Daulah Khilafah Islamiyah dengan bebas. Pada
saat yang sama, Saudi mengundang ratusan non-Muslim dari Eropa dan tentara
Amerika untuk bekerja di Saudi dan menempati pangkalan
militer di negara itu.
Tidak hanya itu, demi
alasan keamanan keluarga Kerajaan, berdasarkan data statistik kementerian
pertahanan AS, negara-negara Teluk (termasuk Saudi) sejak tahun 1990-November
1995 telah menghabiskan lebih dari 72 miliar dolar dalam kontrak kerjasama
militer dengan AS. Saat ini, lebih dari 5000 personel militer AS tinggal di
Saudi. Apa yang terjadi di Saudi saat ini hanyalah salah satu contoh di antara
sekian banyak contoh para penguasa Muslim yang melakukan pengkhianatan kepada
umat. Tidak jarang, para penguasa pengkhianat umat ini menamakan rezim mereka
dengan sebutan negara Islam atau negara yang berdasarkan al-Quran dan Sunnah;
meskipun pada praktiknya jauh dari Islam. Karenanya, umat Islam wajib menyadari
kewajiban menegakkan Daulah Khilafah Islamiyah yang sahih, bukan semu. Daulah
Khilafah Islamiyah inilah yang akan menerapkan hukum-hukum Islam secara
menyeluruh, yang pada giliran akan menyelesaikan berbagai persoalan umat ini.
Tentu saja, hal ini harus dibarengi dengan melengserkan para penguasa
pengkhianat di tengah kaum Muslim. Inilah kewajiban kita semua saat ini.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Model kepemimpinan di
Iran pada dasarnya adalah sebuah modifikasi sistem pemerintahan berbasis Islam,
terutama Syi’ah. Letak simpulnya adalah negara mencoba untuk menjalankan
syariah Islam dengan bentuk negara republiknya, meski tidak murni dalam bentuk
kekhalifahan.Sementara Arab Saudi, lebih cenderung menerapkan sistem syariah
semu dengan lebih menyorot pada peran kerajaan sebagai sentrum of interest.
Arab Saudi dalam sistem pemerintahannya diyakini tidak betul-betul menerapkan
secara kaffah. Meski pada bagian-bagian tertentu.
Sedangkan monarki islam pertama kali yang di lakukan oleh bani umayah telah membuktukan bahwa islam dapat di kolaborasikan dengan segala bentuk pemerintahan, yang menjadi maslahnya ke konsistentan setiap negara yang mengkolaborasiknya untuk membuat islam berjaya dengan gayanya masing-masing.
Sedangkan monarki islam pertama kali yang di lakukan oleh bani umayah telah membuktukan bahwa islam dapat di kolaborasikan dengan segala bentuk pemerintahan, yang menjadi maslahnya ke konsistentan setiap negara yang mengkolaborasiknya untuk membuat islam berjaya dengan gayanya masing-masing.
DAFTAR
PUSTAKA
Azra,
A. (1996). Pergolakan Plitik Islam: Dari
Fundementalisme, Modernisme dan Post Modernisme. Jakarta: Paramadina.
Na’im,
A. A. (2009). Islam dan Negara Sekuler:
Menegosiasikan Masa Depan Syariah. Bandung: Mizan.
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Raja Grafindo
Persada, Jakarta 2000
Al
Maududi, Abul A’la, Hukum dan Konstitusi
Sistem Politik Islam, Penerbit Mizan, Bandung, 1990
Nasution,
Harun, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah
Pemikiran dan Gerakan, Bulan Bintang, Jakarta,2001.
Ali, K, Sejarah Islam, Raja Grafindo Persada,
Jakarta 1996
Lapidus, Ira M,Sejarah Sosial Umat Islam,Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 1999
Nasution, Harun,Islam Ditinjau dari Beberap Aspeknya,UI
Press, Jakarta, 1985
Tidak ada komentar:
Posting Komentar