MAKALAH
PRINSIP-PRINSIP HAK ASASI
POLITIK DALAM
PIAGAM MADINAH
Dosen Pengampu: Agustamsyah
M.I.P
DISUSUN OLEH
KELOMPOK 6
DANI ANDRIYANTO (1531040098)
ENDI
MUSA (153104
IMAM
SETIA HAGI (1531040084)
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN
LAMPUNG
TAHUN 2017/2018
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Alhamdullilah dengan mengucapkan Pujisyukur kehadirat Allah Yang Maha Esa
atas segala rahmatNYA, sehingga makalah yang berjudul “Prinsip-prinsip Hak
Asasi Politik dalam Piagam Madinah” ini dapat tersusun hingga selesai dengan
baik dan lancar.Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terimakasih atas
bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik
materi maupun pikirannya.
Dan harapan kami semoga makalah ini dapat dijadikan
sebagai bahan acuan untuk menambah pengetahuan, memahami dan mempelajari
tentang Prinsip-prinsip hak asasi politik dalam Piagam Madinah, Untuk ke
depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi
lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami,
Kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami
sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb
Bandar Lampung, 19 September
2017
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA
PENGANTAR.................................................................................................................. I
DAFTAR
ISI............................................................................................................................... II
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang.................................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................................................................ 1
C. Tujuan Masalah.................................................................................................................... 1
BAB
II PEMBAHASAN
A. Prinsip Umat dan Prinsip Persatuan dan Persaudaraan ......................................................2
B. Prinsip Persamaan dan Prinsip Kebebasan..........................................................................3
C. Prinsip Hubungan Antarpemeluk Agama dan
Prinsip Pertahanan......................................5
D. Prinsip Hidup
Bertetangga dan Prinsip Tolong-Menolong dan Membela yang Lemah dan Teraniaya.............................................................................................................................6
E. Prinsip
Perdamaian dan Prinsip Musyawarah.....................................................................7
F.
Prinsip Keadilan dan Prinsip Pelaksanaan
Hukum ............................................................8
G. Prinsip Kepemimpinan dan Prinsip Ketakwaan,
Amar Makruf dan Nahi Munkar.............9
BAB
III PENUTUP
A. Kesimpulan......................................................................................................................... 12
B. Saran................................................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Heterogen penduduk
Madinah adalah dalam hal etnis dan bangsa, asal daerah, ekonomi, agama dan
keyakinan serta adat kebiasaan. Kondisi ini menyebabkan tiap golongan memiliki
cara berpikir dan bertindak sendiri dalam mewujudkan kepentingannya sesuai
dengan filosofi hidupnya yang dipengaruhi oleh keyakinan yang dianutnya,
kulturnya dan tuntutan situasi.
Faktor-faktor tersebut
mengakibatkan mudahnya timbul konflik di antara mereka. Sebab, masyarakat yang
terdiri dari berbagai golongan dan mempunyai perbedaan kepentingan yang tajam
dalam bidang sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya cenderung ingin saling
menghancurkan.
Jelasnya, tipe
masyarakat demikian memerlukan penataan dan pengendalian sosial secara bijak
dengan membuat undang-undang dan peraturan yang dapat menciptakan rasa aman dan
keadaan damai atas dasar keserasian dan keadilan dan dapat diterima oleh semua
golongan.
Usaha Nabi
mempersaudarakan orang-orang mukmin membentuk mereka menjadi satu umat,
kemudian mempersatukan orang-orang yahudi dan sekutunya adalah satu umat
bersama orang-orang mukmin melalui perjanjian tertulis, merupakan tindakan
politik beliau untuk mengorganisasikan penduduk Madinah yang majemuk itu
menjadi masyarakat yang teratur.
Piagam Madinah
berfungsi sebagai dasar hukum dan konstitusi negara Madinah dalam mempersatukan
penduduk Madinah dari semua golongan. Karena di dalamnya terdapat
prinsip-prinsip yang mengatur jalannya pemerintahan di bawah pimpinan Nabi
Muhamammad SAW.
B.
Rumusan
Masalah
·
Bagaimana
prinsip-prinsip hak asasi politik dalam Piagam Madinah dan kaitannya dengan
ayat-ayat al-Quran?
C.
Tujuan
Masalah
·
Untuk memahami
Bagaimana prinsip-prinsip hak asasi politik dalam Piagam Madinah dan kaitannya
dengan ayat-ayat al-Quran.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Prinsip
Umat
Dalam kenyataan sosial,
karakter manusia sebagai mahluk sosial membutuhkan kerja sama antara satu
dengan lainnya dan hidup berkelompok. Setiap kelompok dapat dibedakan dari segi
keyakinan dan agama yang mereka anut, dari segi etnis, dan geografis mereka,
dari segi prinsip politik mereka, dari segi kepentingan ekonomi mereka, dari
segi pola berpikir dan pandangan hidup (ideologi) mereka, adat istiadat mereka,
dan sebagainya.
Masyarakat negara
Madinah yang dibentuk oleh nabi Muhammad juga terdiri dari berbagai kelompok
sosial yang berbeda agama dan keyakinan, etnis, geografis, tingkat kehidupan
ekonomi, pola berpikir, dan prinsip politik. Mereka bersatu dibawah
kepemimpinan Nabi setelah beliau dan mereka bersepakat membuat suatu perjanjian
tertulis ( Piagam Madinah ) agar mereka dapat membentuk kerja sama dalam
berbagai aspek kehidupan. Dalam kaitan ini teks Piagam Madinah (pasal 1)
menyatakan bahwa orang-orang mukmin dan muslim adalah umat yang satu , tidak
termasuk golongan lain. Pada pasal 25 ditetapkan pula bahwa orang-orang Yahudi
dan sekutunya adalah satu umat bersama orang-orang mukmin.
Orang-orang muslim yang
dipersatukan oleh Nabi menjadi satu umat agar, sebagai orang-orang beriman dan
bertakwa, tampil dan bersatu menentang orang yang melakukan kejahatan,
ketidakadilan, perbuatan dosa, permusuhan, dan kerusakan diantara orang-orang
mukmin walaupun terhadap anak-anak mereka sendiri (pasal 13), berpedoman kepada petunjuk yang paling baik
dan lurus (pasal 20).
Sedangkan pernyataan
Piagam Madinah bahwa orang-orang mukmin dan kaum Yahudi adalah umat yang satu
dalam kehidupan sosial politik, menghendaki agar mereka tampil bersatu sebagai
umat yang bekerja sama dalam berbuat kebajikan, mencegah segala macam perbuatan
jahat, menegakkan keadilan, memelihara persatuan , perdamaian dan keamanan
(pasal 37 dan 44). Sekalipum mereka dua golongan atau umat yang berbeda (umat
dalam arti sempit) karena berbeda akidah. [1]
B.
Prinsip
Persatuan dan Persaudaraan
Ketetapan piagam
tentang pembentukan umat bagi orang-orang mukmin disatu pihak dan bagi
orang-orang mukmin bersama kaum yahudi dipihak lain sudah berkonotasi
pentingnya prinsip tersebut. Artinya, di dalam organisasi umat terkandung juga
terkandung makna persatuan dan persaudaraan, baik “persatuan dan persaudaraan
sosial” atau “persatuan dan persaudaraan kemanusiaan” antar pemeluk agama.
Suatu bangsa, umat dan
negara tidak akan berdiri tegak bila di dalamnya tidak terdapat persatuan dan
persaudaraan warganya. Persatuan dan persaudaraan ini tidak akan terwujud tanpa saling bekerja
sama dan mencintai. Untuk tujuan itu, Piagam Madinah menetapkan bahwa seorang
mukmin tidak boleh mengikat mengikat persekutuan atau aliansi dengan keluarga
mukmin lain tanpa persetujuan lainnya, (pasal 12). Demikian pula seorang mukmin
tidak dibenarkan mengadakan perjanjian damai dengan meninggalkan mukmin lain
dalam keadaan perang dijalan Allah,
kecuali atas dasar persamaan dan adil diantara mereka. Sebab, sesungguhnya
perdamaian orang-orang mukmin itu satu, (pasal 17).
Dengan demikian esensi
ketetapan-ketetapan perjanjian itu bertujuan untuk memelihara dan mengakrabkan
kesatuan dan persaudaraan penduduk madinah yang integral, sebagai sendi faktor
perekat keutuhan mereka sebagai umat yang satu dalam kehidupan sosial politik.[2]
C.
Prinsip
Persamaan
Masyarakat Arab sebelum
Islam, sebagai telah dikemukakan pada penjelasan sebelumnya terdiri dari
berbagai kabilah. Masyarakat mereka yang berdasarkan ‘asshabiyyat itu
tidak mengenal adanya persamaan antara sesama manusia. Satu kabilah dengan
kabilah lainnya tidak saling melindungi. suatu kabilah adalah musuh bagi
kabilah lainnya yang harus dilenyapkan, karena setiap kabilah menganggap
dirinya lebih unggul dari kabilan lain.
Tampaknya Nabi Muhammad
melihat bahwa sistem kehidupan bermasyarakat demikian tidak manusiawi. Maka
ketika beliau berhijrah ke Madinah dan kemudian membuat perjanjian tertulis,
beliau menetapkan seluruh penduduk Madinah memperoleh status yang sama atau
persamaan dalam kehidupan sosial.
Ketetapan Piagam tentang prinsip
persamaan ini dapat diikuti sebagai berikut :
1. Dan
bahwa orang Yahudi yang mengikuti kami akan memperoleh hak perlindungan dan hak
persamaan tanpa ada penganiyaan dan tidak ada orang yang membantu musuh mereka
(pasal 16)
2. Dan
bahwa Yahudi al-Aus, sekutu mereka dan diri (jiwa) mereka memperoleh hak
seperti apa yang terdapat bagi pemilik shahifatini serta memperoleh perlakuan
yang baik dari pemilik shahifat ini (pasal 46).
Ketetapan ini berkaitan dengan
kemaslahatan umum yang menjamin hak-hak istimewa mereka sebagaimana hak dan
kewajiban yang dimiliki oleh oleh kaum muslimin.
Persamaan dari unsur kemanusiaan tampak
dalam ketetapan yang menyatakan seluruh penduduk Madinah adalah umat yang satu
atau umay-umat yang mempunyai status sama dalam kehidupan sosial (pasal 25-35);
hak membela diri (pasal 36 b); persamaan tanggung jawab dalam mempertahankan
keamanan kota Madinah (pasal 44); persamaan hal dalam memberikan saran dan
nasihat untuk kebaikan (pasal 37); dan persamaan hak kebebasan dalam memilih agama
dan keyakinan (pasal 25-35), serta hak mengatur kehidupan ekonomi masing-masing
juga sama. Hak-hak ini adalah hak-hak manusia yang paling dasar yang tidak
boleh dilanggar oleh siapapun. Pengakuan akan hak-hak ini berarti pengakuan
terhadap persamaan semua golongan. Dengan begitu Piagam Madinah tidak mengenal
kategori dikotomi diantara manusia.[3]
D.
Prinsip
Kebebasan
Ketetapan ketetapan Piagam
Madinah tentang prinsip manuasia sebagai umat yang satu, prinsip persatuan dan
persaudaraan dan prinsip-prinsip persamaan yang dikemukakan diatas mengendaki
pula adanya kebebasan kebebasan. Sebab, jika setiap orang atau golongan tidak
memperoleh kebebasan kebebasan, maka prinsip-prinsip tersebut tidak akan terwujud
nyata dalam kehidupan masyarakat.
Karena itu, prinsip
kebebasan mutlak perlu dikembangkan dan dijamin pelaksanaannya guna terjaminnya
masyarakat pluralistik. Kebebasan kebebasan yang dibutuhkan manusia adalah
kebebasan beragama, kebebasan dari perbudakan, kebebasan dari kekurangan,
kebebasan dari rasa takut, kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan bergerak
dan kebebasan dari penganiayaan dan lain lain. Didalam piagam madina juga
terdapat ketetapan ketetapan mengenai kebebasan yang diperuntukan bagi segenap
manusia.
1.
Kebebasan beragama.
Penetapan
prinsip ini didalam piagam madina tampaknya menjadi jawaban nyata terhadap
sosial penduduk madinah, yakni adanya peragaman komunitas agama keadan
keyakinan dikota itu. Manusia mempunyai hak kebebasan personal untuk memilihb
keyakinan atau ideologi mana saja. Dalam Piagam Madinah yang menyatakan bahwa
kaum Yahudi tetap perpegang pada agaman merekan dan orang orang Mukmin pun
tetap berpegang pada agama mereka (pasal 25).
2.
Kebebasan dari
kekurangan.
Hal
ini dapat dilihat dalam ketetapan Piagam Madinah yang menyatakan bahwa
“sesungguhnya orang orang mukmin tidak boleh membiarkan seseorang diantara
mereka menanggung beban utang dan beban keluarga yang harus diberi nafkah,
tetapi memberinya bantuan dengan cara yang baik dengan menebus tawanan atau
membayar diat, (pasal 12).
3.
Kebebasan dari
pengayiayaan dan menuntut hak.
Prinsip
ini dipahami dari ketetapan piagam yang menyatakan: “bahwa kaum Yahudi yang
mengikuti kami berhak mendapat perlindungan dan hak persamaan tanpa ada
pengayiayaan atas merekan dan tidak pula ditolong orang yang menjadi musuh
mereka, (pasal 16), dan bahwa tidak ada orang yang boleh menghalangi seseorang
menuntuk haknya (balas) karena dilukai” (pasal 36).
4.
Kebebasan dari rasa
takut.
Teks
piagam menyatakan: “bahwa siapa saja yang keluar dari kota Madinah atau tetap
tinggal (didalamnya) ia akan aman kecuali orang yang berbuat zalim dan berbuat
dosa”. (pasal 47).
5.
Kebebasan berpendapat.
Prinsip
ini dinyatakan oleh teks piagam secara eksplisit. Prinsip ini dipahami dari
pasal 37 yang menyatakan: “dan bahwa diantara mereka saling memberi saran dan
nasihat yang baik dan berbuat kebaikan, tidak dalam perbuatan dosa, dan pasal
23 yang menyatakan: “dan bahwa bila kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka
sesungguhnya rujukan (menyelesaikannya) kepada Allah dan Muhammad.[4]
E.
Prinsip
Hubungan Antarpemeluk Agama
Ketetapan Piagam
Madinah tentang kebebasan beragama dan pengakuan akan eksistensi
komunitas-komunitas agama yang ada, diikuti pula dengan ketetapan-ketetapan
yang mengatur hubungan-hubungan sosial dan politik di antara pemeluk agam-agama
tersebut. Hubungan-hubungan yang dimaksud, yaitu;
Ø Di
bidang pertahanan dan keamanan, yang bertujuan menjalin hubungan antar pemeluk
agama, Piagam menentapkan bahwa diantara orang-orang mukmin dan kaum Yahudi
mengadakan kerja sama dan tolong-menolong dalam menghadapi orang yang menyerang
peserta perjanjian (pasal 37). Kerja sama, tolong-menolong atau saling bahu
membahu merupakan kewajiban semua warga dalam menghadapi pihak lain yang
melancarkan serangan terhadap kota Yastrib (pasal 44).
Ø Di
Bidang belanja peperangan, bila ada musuh yang menyerang Madinah dan
menyebabkan mereka terlibat dalam peperangan, Piagam Madinah menetapkan: “Bahwa
kaum Yahudi bersama orang-orang mukmin bekerja-sama dalam menanggung pembiayaan
selama mereka mengadakan peperangan bersama (pasal 24 dan 38)
Ø Di
bidang kehidupan sosial, Piagam menyatakan bahwa antara orang-orang Yahudi dan
Mukmin saling memberikan saran dan nasihat dan berbuat kebaikan tanpa perbuatan
dosa (pasal 37).
Tapi tujuan esensi dari ketetapan Piagam
tentang “kewajiban umum dalam usaha mewujudkan pertahanan dan keamanan bersama
menghadapi musuh, bersama-sama mengeluarkan belanja selama dalam perang
mempertahankan kota suci madinah dan saling nasihat-menasihati dan berbuat
kebaikan tanpa perbuatan, “ Adalah terciptanya kerja sama dalam kebaikan ,
membentuk sikap keterbukaan dikalangan rakyat Madinah yang mementingkan
golongan lain, bukan sikap yang eksklusif yang hanya mementingkan golongan
sendiri. Hal lain yang lebih penting ialah umat Islam boleh mengadakan hubungan
kerja sama dengan umat lain, dan berbuat baik kepadanya .[5]
F.
Prinsip
Pertahanan
Ketetapan Piagam
Madinah mengenai prinsip pertahan ini terkandung dalam pasal pasal 37, 44, 24
dan 38 yang menyatakan adanya Hak dan kewajiban umum “segenap rakyat Madinah
dalam usaha mewujudkan pertahanan bersama dan bersama-sama mengeluarkan belanja
perang selama mereka menghadapi perang bersama untuk mempertahankan keamanan
kota Madinah.
Tujuan lain yang dapat
dipahamin dari ketetapan tersebut adalah
Ø Mempertahankan
kedaulatan negara Madinah yang setiap saat bisa diancam oleh musuh musuh islam
dari dalam dan luar; dan
Ø Menciptakan
rasa aman bagi nabi dan pengikutnya bagi kepentingan pengembangan pengaruh
islam di Jazirah Arab.
Teks piagam yang
menyatakan (pasal 44) yang sudah dikutip, ditafsirkan oleh ibn salam orang luar yang
menyerang kota Madinah. Seluruh orang orang Mukmin dan Yahudi harus saling
bahu-membahu dan tolong-menolong menghadapinya dan mempertahankan kota Madinah.[6]
G.
Prinsip
Hidup Bertetangga
Ketetapan Piagam yang
bersifat khusus dimaksudkan untuk menjamin tegaknya hak-hak dasar penduduk
Madinah, yaitu hak hidup secara aman yang bebas dari penganiayaan dan rasa
takut, hak persamaan, hak persaudaraan, hak melaksanakan adat kebiasaan yang
baik, hak melaksanakan ajaran agama, dan hak mengemukakan pendapat sebagai
telah diuraikan di atas. Terciptanya kondisi demikian akan berimplikasi pada
terwujudnya persahabatan, persatuan, dan kesatuan rakyat Madinah yang heterogen
secara efektif dan integral.
Sebagai telah disebut,
baik tetangga yang dekat maupun tetangga yang jauh dan baik tetangga itu dari
keluarga muslim, keluarga Yahudi, keluarga Nasrani, maupun keluarga musyrik,
harus diperlakukan secara baik dan hak-haknya harus dihormati. Atas dasar ini,
maka ketetapan yang bersifat global tersebut tidak hanya mengatur kehidupan
bertetangga di kalangan masyarakat Madinah, tetapi juga mengatur kehidupan
bertetangga antara masyarakat Madinah dan komunitas-komunitas yang menetapkan
yang menetap di luar negara kota itu (city-state)
Dalam catatan sejarah
islam, tercatat bahwa Muhammad SAW mengadakan perjanjian dan menjalin hubungan
persahabatan dengan komunitas-komunitas yang menetap di luar kota Madinah serta
menghormati hak-hak mereka. Diantaranya beliau mengadakan perjanjian dengan
kaum Nasrani yang menetap di Najran. dalam perjanjian itu disebutkan bahwa
mereka mendapatkan jaminan keamanan dan pelindungan, tidak ada penindasan atas
mereka, bebas melaksanakan ajaran agamanya, menghormati sarana peribadatan
mereka, mengakui hak-hak mereka dan pajak tidak dipungut dari mereka. Beliau
juga memberikan jaminan yang sama kepada komunitas majusi dalam bentuk spucuk
surat yang beliau kirimkan kepada Farrukh dan Syakhan, kepada
daerah Yaman.
Dengan begitu, baik
Piagam Madinah maupun Al-Quran telah meletakan ajaran dasar hubungan
bertetangga, dan telah dipraktekan oleh Nabi, baik dalam kehidupan bertetangga
dalam lingkungan masyarakat kota Madinah , muapun dalam berhubungan tetangga
dalam negara Madinah dan kelompok-kelompok masyarakat yang bertetangga
dengannya, yang dekat dan yang jauh dan yang baik dengan umat muslim maupun
non-Muslim. Dasarnya diantara tetangga tidak boleh saling memusuhi, tetapi
mereka harus hidup saling berdampingan, secara damai, saling melindungi dan
menghormati hak-hak dan mengadakan kerja sama dalam kebaikan demi terwujudnya
ketertiban dan keamanan serta kesejahteraan bersama. [7]
H.
Prinsip
Tolong-Menolong dan Membela yang Lemah dan Teraniaya
Prinsip ini merupakan
rumusan spesifik dari kandungan ketetapan-ketetapan yang sudah pernah dikutip
dimuka untuk prinsip lain yaitu: “bahwa orang orang Mukmin tidak boleh
membiarkan seseorang di antara mereka menanggung beban utang dan beban keluarga
yang wajib diberi nafkah, tetapi hendaklah mereka membantunya dengan cara yang
baik membayar diat (pasal 11).
Dan sesungguhnya
perlindungan Allah itu satu. Dia melindungi mereka yang lemah. Sesungguhnya
orang orang Mukmin sebagian mereka adalah penolong atau pembela terhadap
sebagian yang lain, bukan golongan yang lain (pasal 15).
Prinsip ajaran yang
terkandung dalam ketetapan pasal 12, 15, 37, 44, dan 22 tersebut, merupakan
perjanjian persahabatan untuk mengikat berbagai golongan yang berdasarkan pada
tolong-menolong dalam mewujudkan kebaikan, membela yang teraniaya, dan
menjauhkan kejahatan. Artinya, masyarakat yang dicita-citakan oleh Piagam
Madinah adalah masyarakat gotong-royong dan tolong-menolong satu sama lain
dalam kebaikan, membantu orang yang lemah, membela yang teraniaya, dan tidak
menolong atau membela pelaku kejahatan. Corak masyarakat seperti ini mulai yang
menjadi tujuan perintah Allah dalam Al-Qur’an: “dan tolong menolonglah kamu
dalam mengerjakan kebaikan dan taqwa, dan jangan kamu tolong menolong dalam berbuat
dosa dan permusuhan”. (QS. Al-Maidah ; 2).[8]
I.
Prinsip
Perdamaian
Piagam Madinah menetapkan
prinsip-prinsip ini secara eksplisit yang harus dipatuhi kaum Muslimin. “dan
sesungguhnya perdamaian orang orang Mukmin itu satu, tidak dibenarkan seorang
Mukmin membuat perjanjian damai sendiri tanpa mukmin lain dalam keadaan
berperang di jalan Allah kecuali atas dasar persamaan dan kedilan diantara
mereka”. (pasal 17)
Ketetapan lain
menekankan agar orang orang Mukmin gemar menerima dan memprakarsai perdamaian.
Teks piagam menyatakan: “apabila mereka (pihak musuh) diajak berdamai, mereka
memenuhi ajakan berdamai itu dan melaksanakannya, maka sesungguhnya mereka
menerima perdamaian itu dan melaksanakannya; dan sesungguhnya apabila mereka
(orang orang mukmin) di ajak berdamai seperti itu maka sesungguhnya wajib atas
orang orang mukmin (menerima ajakan damai itu), kecuali terhadap orang yang
memerangi agama”. (pasal 45)
Sebagai mana Piagam
Madinah, Al-Qur’an juga menyoroti masalah perdamaian dengan pandangan yang
lebih luas dari piagam. Konsep Al-Qur’an tentang perdamaian berkaitan dengan
perintah mewujudkan perdamaian, syarat menerima perdamaian, perdamaian interen
umat islam, perdamaian dengan pihak eksteren, dan cara mewujudkan perdamaian.[9]
J.
Prinsip
Bermusyawarah
Prinsip ini tidak
disebut secara tegas oleh piagam madinah. Tetapi, bila dipahami salah satu
pasalnya yakni pasal 17 sebagai telah dikutip, yang menyatakan bahwa bila orang
Mukmin hendak mengadakan perdamaian harus atas dasar persamaan dan adil di
antara mereka, mengandung konotasi bahwa untuk mengadakan perdamaian itu harus
disepakati dan di terima bersama. Hal ini tentu saja hanya bisa dicapai melalui
suatu prosedur, yaitu musyawarah diantara mereka. Tanpa musyawarat atau syura
persamaan dan adil itu mustahil dapat dipenuhi, karena didalam musyawarah semua
peserta mempunyai hak untuk mendapatkan kesempatan secara adil untuk
mengungkapkan pendapat dan pandangan masing-masing terhadap masalah yang
dirundingkan .
Sejalan dengan kehendak
ketetapan tersebut, Muhammad SAW sebagai contoh teladan yang paling baik bagi
umat manusia dan kedudukannya sebagai kepala negara pemerintahan di Madinah,
telah membudayakan praktek musyawarah dikalangan para sahabatnya. Sejarah membuktikan
bahwa beliau sering kali bermusyawarah dengan para sahabatnya untuk meminta
saran dan pendapat mereka dalam soal kemasyarakatan dan kenegaraan.
Sementara dalam ayat
lain Allah memerintahkan agar umat melaksanakan musyawarah. Dalam surah
Asy-Syura ayat 38. “dan orang orang yang menerima seruan Tuhannya, dan
mendirikan shalat, sedang urusan (diputuskan) dengan musyawarah, dan mereka
membelanjakan sebagian dari rezeki yang telah kami berikan kepada mereka.[10]
K.
Prinisp
Keadilan
Prinsip ini mendapat
posisi dalam Piagam Madinah yang dinyatakan secara tegas sebagai sistem
perundang-undangan dalam kehidupan masyarakat negara Madinah. Dalam pasal 2 - 10
dinyatakan bahwa orang-orang mukmin harus berlaku adil dalam membayar diyat
dan menebus tawanan.
Kemudian pasal 13
menuntut orang-orang mukmin bersikap adil dalam menentang para pelaku
kejahatan, ketidakadilan dan dosa sekalipun kepada anak sendiri. Sebab seorang
mukmin yang membiarkan atau menutup-nutupi anak atau orang terdekatnya yang
melakukan perbuatan dosa, merupakan cerminan sikap yang tidak adil. Seorang
mukmin yang adil menentang siapapun yang melakukan kejahatan agar ketidak
adilan tidak merajalela.
Dari ketetapan tersebut
dapat ditegaskan bahwa prinsip keadilan menjadi satu sistem perundang-undangn
negara Madinah. Semua warga negara, baik muslim maupun non-muslim diperlakukan
secara adil dengan memperoleh hak perlindungan dan hak persamaan dalam
kehidupan sosial dan politik. Artinya, sebagai sesama manusia mendapat hak yang
sama untuk mendapatkan keadilan. Keadilan bukan hak satu golongan saja,
melainkan hak setiap orang. ia juga menjadi sendi sosial masyarakat Madinah
yang menuntun setiap warga negara berlaku adil dalam menyelesaikan setiap
masalah, seperti membayar diyat dan menebus tawanan , dan menegakan hum secara
adil.
Sebagaimana Piagam
Madinah Al-Quran juga memiliki sejumlah ayat tentang keadilan. Ia meliputi
perintah menegakkan keadilan baik melalui perkataan, tindakan dan sikap hati
dan pikiran, penegak keadilan, kode etik menegakkan keadilan, objek keadilan,
nilai yang terkandung dalam keadilan, dan tujuan ditegakkannya keadilan.[11]
L.
Prinsip
Pelaksanaan Hukum
Prinsip ini dalam
ketetapan piagam terfokus pada pemberian sanksi hukum kepada pelaku kejahatan
dan kepada pihak yang secara politis memperlihatkan sikap permusuhan dan
melakukan penghianatan. Rumusan prinsip ini disandarkan pada beberapa ketetapan
piagam. Pasal 21 menyatakan: “bahwa siapa yang membunuh seorang mukmin dengan
nyata (cukup bukti) maka sesungguhnya dia dihukum sebab perbuatannya, kecuali
apabila keluarga si terbunuh merelakannya dengan diat, dan sesungguhnya orang-orang
mukmin seluruhnya (berpihak) atas si terbunuh dan tidak di bolehkan bagi mereka
(berdiam diri) kecuali melawannya (pelaku) pembunuhan.
Ketetapan yang bersipat
umum disebut dalam pasal 47: maksud teks ini adalah siapa saja yang keluar dari
Madinah dan menetap di dalamnya keamanan dirinya dijamin, kecuali orang yang
melakukan perbuatan aniaya dan dosa. Artinya, orang yang berlaku baik tidak
menimbulkan kerusuhan, dan tidak melakukan penghianatan, maka keamanan dirinya
dijamin dan dilindungi. Sedangkan orang orang yang berbuat aniaya dan dosa yang
merugikan orang lain dan melanggar hak-haknya, seperti menimbulkan kerusuhan,
menunjukan sikap permusuhan dan melakukan penghianatan, keamanan dirinya tidak
terjamin. Artinya, pelakunya harus diberi sangsi atas perbuatannya. Sebab,
kesucian dan kehormatan kota Yatsrib harus dipelihara dan bebas dari segala
macam tindak kejahatan.[12]
M.
Prinsip
Kepemimpinan
Yang dimaksud prinsip
kepemimpinan dalam pembahasan ini adalah posisi dan kedudukan Muhammad SAW
serta fungsinya dalam konstitusi Madinah dan kepemimpinannya sebagai kepala
pemerintah negara Madinah. Berkenaan dengan hal pertama pasal Piagam menyatakan
:
Sesungguhnya bila kamu berbeda
pendaat mengenai sesuatu, maka rujuan penyelesaiannya kepada Allah dan Muhammad
SAW (pasal 23)
Sesungguhnya tidak seorang pun dari
mereka (penduduk Madinah) dibolehkan keluar kecuali seizin dari Muhammad SAW
(pasal 36)
Ketetapan-ketetapan ini
menunjukan bahwa Nabi Muhammad SAW diakui sebagai pemimpin masyarakat Madinah,
disamping pemimpin umatnya. Dari catatan sejarah diketahui bahwa posisinya ini
lambat laun kemudian membuat beliau menjadi pemimpin masyarakat dan wilayah
yang lebih luas dari kota Madinah, yang penduduknya terdiri dari banyak suku
dan berbagai agama.
Berdasarkan pandangan
itu , maka masyarakat Madinah yang majemuk itu adalah masyarakat yang teratur
di bawah pimpinan Nabi. Fungsi beliau ini tidak terbatas pada perbedaan
pendapat dan perselisihan di kalangan umat Islam, tetapi juga mereka yang bukan
muslim.
Keharusan umat
mengembalikan perbedaan pendapat dan perselisihan yang terjadi diantara mereka
kepada ketentuan hukum Allah dan Muhammad SAW untuk memperoleh keputusan atau
ketentuan hukumnya dalam ketetapan Piagam, juga terdapat dalam ayat al-Quran
yang menyatakan:
Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasulnya dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika
kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan
Rasul jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang
demikian itu lebih utama dan lebih baik
akibatnya.(QS An-Nisa:
59)[13]
N.
Prinsip
Ketakwaan, Amar Makruf dan Nahi Munkar
Ketakwaan, amar makruf
dan nahi munkar yang ditetapkan dalam Piagam Madinah di pahami sebagai asas
pemerintahan negara Madinah, dan asas hubungan vertikal dan hubungan horizontal
masyarakatnya. Prinsip ini dipahami dan dirumuskan dari ketetapan yang
menyatakan: dan sesungguhnya orang-orang mukmin yang bertakwa harus menentang
orang yang melakukan kejahatan dari kalangan mereka atau menuntut orang yang
melakukan ketidak adilan, atau kerusakan diantara orang-orang mukmin. Mereka
semua harus menentangnya secara bersama walaupun terhadap anak salah seorang
mereka (pasal 13).
Dan sesungguhnya
orang-orang mukmin yang bertakwa harus berpegang kepada petunjuk yang terbaik
dan paling lurus (pasal 20).
Prinsip ketetapan ini
menekankan pada hubungan baik dan harmonis orang-orang mukmin dengan Allah dan
dengan lingkungannya. Sedangkan cerminan ketakwaan orang-orang mukmin dalam
hubungannya dengan lingkungannya atau dengan manusia lain dan atau dengan
masyarakatnya, harus “saling memberi saran dan nasihat dan berbuat kebaikan
tanpa dosa” (pasal 37). Ini disebut tugas amar makruf. Mereka juga, menurut
artikel 13 di atas, harus mencegah dan menentang segala macam tindakan
kejahatan yang disebut dengan tugas nahi munkar. Artinya, artikel 13 dan 20 itu
menghendaki orang-orang mukmin berkerja sama dalam mewujudkan kebaikan dan
takwa dan mencegah segala macam bentuk kejahatan. Al-Quran juga memerintahkan kepada
orang-orang mukmin agar bekerja sama dalam mengerjakan kebaikan dan takwa dan
tidak bekerja sama dalam berbuat dosa dan pelanggaran.
Dalam ketetapan Piagam
Madinah tersebut diketahui bahwa sifat ketakwaan orang mukmin mengandung dua
dimensi.
Ø Dimensi
ketuhanan, yaitu hubungan manusia dengan Allah untuk bertakwa kepada-Nya.
Ø Dimensi
sosial, yaitu menegakan amar makruf dan nahi munkar demi terwujudnya ketertiban
sosial.
Oleh karena itu,
prinsip ketakwaan, amar makruf dan nahi munkar sebagai asas negara Madinah
menuntut masyarakatnya di samping
bertakwa kepada Allah, juga harus mempunyai kepedulian sosial, baik untuk tugas
amar makruf maupun untuk tugas nahi
munkar. Tipe masyarakat dan pemerintahan seperti inilah yang di cita-citakan
islam, yakni suatu negara dimana masyarakat dan pemerintahannya berusaha
menciptakan masyarakat beriman dan
bertakwa dan mengamankan kepentingan pemerintahan dalam mencapai tujuannya. [14]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Usaha nabi mempersaudarakan orang-orang
mukmin membentuk mereka menjadi satu umat, kemudian mempersatukan orang-orang
yahudidan sekutunya adalah satu umat bersama orang-orang mukmin melalui
perjanjian tertulis, merupakan tindakan politik beliau untuk mengorganisasikan
penduduk Madinah yang majemuk itu menjadi masyarakat yang teratur.
Piagam madinah berfungsi sebagai dasar
hukum dan konstitusi negara Madinah dalam mempersatukan penduduk madinah dari
semua golongan. Karena di dalamnya terdapat prinsip-prinsip yang mengatur
jalannya pemerintahan di bawah pimpinan Nabi Muhammad SAW.
B.
Saran
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari
kata sempurna, kedepannya penulis akan lebih fokus dan details dalam
menjelaskan tentang makalah diatas dengan sumber-sumber yang lebih banyak yang
tentunya dapat dipertanggung jawabkan.
DAFTAR PUSTAKA
Pulangan
sayuthi, 1996, Prinsip-prinsip
Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau dari Pandangan Al-Quran,
RajaGrafindo persada, Jakarta
[1] Pulungan Sayuthi, Prinsip-prinsip pemerintahan dalam piagam madinah
ditinjau dari pandangan Al-Quran,(RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1996) Hlm
125-141
[2] Ibid, Hlm 141-147
[3] Ibid, Hlm 149-151
[4] Ibid, Hlm 156-166
[5] Ibid, Hlm 169-172
[6] Ibid Hlm, 173-174
[7] Ibid, Hlm 187-188
[8] Ibid, Hlm 189-195
[9] Ibid, Hlm 196-198
[10] Ibid, Hlm 208-218
[11] Ibid, Hlm 222-224
[12] Ibid, Hlm 232-234
[13] Ibid, Hlm 250-252
[14] Ibid, Hlm 260-262
Tidak ada komentar:
Posting Komentar