Search

Selasa, 12 Februari 2019

MAKALAH PRINSIP-PRINSIP HAK ASASI POLITIK DALAM PIAGAM MADINAH


MAKALAH
PRINSIP-PRINSIP HAK ASASI POLITIK DALAM
PIAGAM MADINAH
Dosen Pengampu: Agustamsyah M.I.P








DISUSUN OLEH
KELOMPOK 6
                                                DANI ANDRIYANTO         (1531040098)
                                                ENDI MUSA                        (153104
                                                IMAM SETIA HAGI            (1531040084)



FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG
TAHUN 2017/2018



KATA PENGANTAR


Assalamu’alaikum Wr.Wb
            Alhamdullilah dengan mengucapkan Pujisyukur kehadirat Allah Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA, sehingga makalah yang berjudul “Prinsip-prinsip Hak Asasi Politik dalam Piagam Madinah” ini dapat tersusun hingga selesai dengan baik dan lancar.Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.
Dan harapan kami semoga makalah ini dapat dijadikan sebagai bahan acuan untuk menambah pengetahuan, memahami dan mempelajari tentang Prinsip-prinsip hak asasi politik dalam Piagam Madinah, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb






Bandar Lampung, 19 September 2017


Penulis                        



DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR.................................................................................................................. I
DAFTAR ISI............................................................................................................................... II
BAB I PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang.................................................................................................................... 1
B.   Rumusan Masalah................................................................................................................ 1
C.   Tujuan Masalah.................................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A.   Prinsip Umat dan Prinsip Persatuan dan Persaudaraan ......................................................2
B.   Prinsip Persamaan dan Prinsip Kebebasan..........................................................................3
C.   Prinsip Hubungan Antarpemeluk Agama dan Prinsip Pertahanan......................................5
D.   Prinsip Hidup Bertetangga dan Prinsip Tolong-Menolong dan Membela yang Lemah dan Teraniaya.............................................................................................................................6
E.    Prinsip Perdamaian dan Prinsip Musyawarah.....................................................................7
F.     Prinsip Keadilan dan Prinsip Pelaksanaan Hukum ............................................................8
G.   Prinsip Kepemimpinan dan Prinsip Ketakwaan, Amar Makruf dan Nahi Munkar.............9
BAB III PENUTUP
A.  Kesimpulan......................................................................................................................... 12
B.  Saran................................................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA







BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Heterogen penduduk Madinah adalah dalam hal etnis dan bangsa, asal daerah, ekonomi, agama dan keyakinan serta adat kebiasaan. Kondisi ini menyebabkan tiap golongan memiliki cara berpikir dan bertindak sendiri dalam mewujudkan kepentingannya sesuai dengan filosofi hidupnya yang dipengaruhi oleh keyakinan yang dianutnya, kulturnya dan tuntutan situasi.
Faktor-faktor tersebut mengakibatkan mudahnya timbul konflik di antara mereka. Sebab, masyarakat yang terdiri dari berbagai golongan dan mempunyai perbedaan kepentingan yang tajam dalam bidang sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya cenderung ingin saling menghancurkan.
Jelasnya, tipe masyarakat demikian memerlukan penataan dan pengendalian sosial secara bijak dengan membuat undang-undang dan peraturan yang dapat menciptakan rasa aman dan keadaan damai atas dasar keserasian dan keadilan dan dapat diterima oleh semua golongan.
Usaha Nabi mempersaudarakan orang-orang mukmin membentuk mereka menjadi satu umat, kemudian mempersatukan orang-orang yahudi dan sekutunya adalah satu umat bersama orang-orang mukmin melalui perjanjian tertulis, merupakan tindakan politik beliau untuk mengorganisasikan penduduk Madinah yang majemuk itu menjadi masyarakat yang teratur.
Piagam Madinah berfungsi sebagai dasar hukum dan konstitusi negara Madinah dalam mempersatukan penduduk Madinah dari semua golongan. Karena di dalamnya terdapat prinsip-prinsip yang mengatur jalannya pemerintahan di bawah pimpinan Nabi Muhamammad SAW.

B.     Rumusan Masalah

·         Bagaimana prinsip-prinsip hak asasi politik dalam Piagam Madinah dan kaitannya dengan ayat-ayat al-Quran?

C.    Tujuan Masalah

·         Untuk memahami Bagaimana prinsip-prinsip hak asasi politik dalam Piagam Madinah dan kaitannya dengan ayat-ayat al-Quran.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Prinsip Umat
Dalam kenyataan sosial, karakter manusia sebagai mahluk sosial membutuhkan kerja sama antara satu dengan lainnya dan hidup berkelompok. Setiap kelompok dapat dibedakan dari segi keyakinan dan agama yang mereka anut, dari segi etnis, dan geografis mereka, dari segi prinsip politik mereka, dari segi kepentingan ekonomi mereka, dari segi pola berpikir dan pandangan hidup (ideologi) mereka, adat istiadat mereka, dan sebagainya.
Masyarakat negara Madinah yang dibentuk oleh nabi Muhammad juga terdiri dari berbagai kelompok sosial yang berbeda agama dan keyakinan, etnis, geografis, tingkat kehidupan ekonomi, pola berpikir, dan prinsip politik. Mereka bersatu dibawah kepemimpinan Nabi setelah beliau dan mereka bersepakat membuat suatu perjanjian tertulis ( Piagam Madinah ) agar mereka dapat membentuk kerja sama dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam kaitan ini teks Piagam Madinah (pasal 1) menyatakan bahwa orang-orang mukmin dan muslim adalah umat yang satu , tidak termasuk golongan lain. Pada pasal 25 ditetapkan pula bahwa orang-orang Yahudi dan sekutunya adalah satu umat bersama orang-orang mukmin.
Orang-orang muslim yang dipersatukan oleh Nabi menjadi satu umat agar, sebagai orang-orang beriman dan bertakwa, tampil dan bersatu menentang orang yang melakukan kejahatan, ketidakadilan, perbuatan dosa, permusuhan, dan kerusakan diantara orang-orang mukmin walaupun terhadap anak-anak mereka sendiri (pasal 13),  berpedoman kepada petunjuk yang paling baik dan lurus (pasal 20).
Sedangkan pernyataan Piagam Madinah bahwa orang-orang mukmin dan kaum Yahudi adalah umat yang satu dalam kehidupan sosial politik, menghendaki agar mereka tampil bersatu sebagai umat yang bekerja sama dalam berbuat kebajikan, mencegah segala macam perbuatan jahat, menegakkan keadilan, memelihara persatuan , perdamaian dan keamanan (pasal 37 dan 44). Sekalipum mereka dua golongan atau umat yang berbeda (umat dalam arti sempit) karena berbeda akidah. [1]

B.     Prinsip Persatuan dan Persaudaraan
Ketetapan piagam tentang pembentukan umat bagi orang-orang mukmin disatu pihak dan bagi orang-orang mukmin bersama kaum yahudi dipihak lain sudah berkonotasi pentingnya prinsip tersebut. Artinya, di dalam organisasi umat terkandung juga terkandung makna persatuan dan persaudaraan, baik “persatuan dan persaudaraan sosial” atau “persatuan dan persaudaraan kemanusiaan” antar pemeluk agama.
Suatu bangsa, umat dan negara tidak akan berdiri tegak bila di dalamnya tidak terdapat persatuan dan persaudaraan warganya. Persatuan dan persaudaraan  ini tidak akan terwujud tanpa saling bekerja sama dan mencintai. Untuk tujuan itu, Piagam Madinah menetapkan bahwa seorang mukmin tidak boleh mengikat mengikat persekutuan atau aliansi dengan keluarga mukmin lain tanpa persetujuan lainnya, (pasal 12). Demikian pula seorang mukmin tidak dibenarkan mengadakan perjanjian damai dengan meninggalkan mukmin lain dalam keadaan perang  dijalan Allah, kecuali atas dasar persamaan dan adil diantara mereka. Sebab, sesungguhnya perdamaian orang-orang mukmin itu satu, (pasal 17).
Dengan demikian esensi ketetapan-ketetapan perjanjian itu bertujuan untuk memelihara dan mengakrabkan kesatuan dan persaudaraan penduduk madinah yang integral, sebagai sendi faktor perekat keutuhan mereka sebagai umat yang satu dalam kehidupan sosial politik.[2]

C.    Prinsip Persamaan
Masyarakat Arab sebelum Islam, sebagai telah dikemukakan pada penjelasan sebelumnya terdiri dari berbagai kabilah. Masyarakat mereka yang berdasarkan ‘asshabiyyat itu tidak mengenal adanya persamaan antara sesama manusia. Satu kabilah dengan kabilah lainnya tidak saling melindungi. suatu kabilah adalah musuh bagi kabilah lainnya yang harus dilenyapkan, karena setiap kabilah menganggap dirinya lebih unggul dari kabilan lain.
Tampaknya Nabi Muhammad melihat bahwa sistem kehidupan bermasyarakat demikian tidak manusiawi. Maka ketika beliau berhijrah ke Madinah dan kemudian membuat perjanjian tertulis, beliau menetapkan seluruh penduduk Madinah memperoleh status yang sama atau persamaan dalam kehidupan sosial.
Ketetapan Piagam tentang prinsip persamaan ini dapat diikuti sebagai berikut :
1.      Dan bahwa orang Yahudi yang mengikuti kami akan memperoleh hak perlindungan dan hak persamaan tanpa ada penganiyaan dan tidak ada orang yang membantu musuh mereka (pasal 16)
2.      Dan bahwa Yahudi al-Aus, sekutu mereka dan diri (jiwa) mereka memperoleh hak seperti apa yang terdapat bagi pemilik shahifatini serta memperoleh perlakuan yang baik dari pemilik shahifat ini (pasal 46).
Ketetapan ini berkaitan dengan kemaslahatan umum yang menjamin hak-hak istimewa mereka sebagaimana hak dan kewajiban yang dimiliki oleh oleh kaum muslimin.
Persamaan dari unsur kemanusiaan tampak dalam ketetapan yang menyatakan seluruh penduduk Madinah adalah umat yang satu atau umay-umat yang mempunyai status sama dalam kehidupan sosial (pasal 25-35); hak membela diri (pasal 36 b); persamaan tanggung jawab dalam mempertahankan keamanan kota Madinah (pasal 44); persamaan hal dalam memberikan saran dan nasihat untuk kebaikan (pasal 37); dan persamaan hak kebebasan dalam memilih agama dan keyakinan (pasal 25-35), serta hak mengatur kehidupan ekonomi masing-masing juga sama. Hak-hak ini adalah hak-hak manusia yang paling dasar yang tidak boleh dilanggar oleh siapapun. Pengakuan akan hak-hak ini berarti pengakuan terhadap persamaan semua golongan. Dengan begitu Piagam Madinah tidak mengenal kategori dikotomi diantara manusia.[3]

D.    Prinsip Kebebasan
Ketetapan ketetapan Piagam Madinah tentang prinsip manuasia sebagai umat yang satu, prinsip persatuan dan persaudaraan dan prinsip-prinsip persamaan yang dikemukakan diatas mengendaki pula adanya kebebasan kebebasan. Sebab, jika setiap orang atau golongan tidak memperoleh kebebasan kebebasan, maka prinsip-prinsip tersebut tidak akan terwujud nyata dalam kehidupan masyarakat.
Karena itu, prinsip kebebasan mutlak perlu dikembangkan dan dijamin pelaksanaannya guna terjaminnya masyarakat pluralistik. Kebebasan kebebasan yang dibutuhkan manusia adalah kebebasan beragama, kebebasan dari perbudakan, kebebasan dari kekurangan, kebebasan dari rasa takut, kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan bergerak dan kebebasan dari penganiayaan dan lain lain. Didalam piagam madina juga terdapat ketetapan ketetapan mengenai kebebasan yang diperuntukan bagi segenap manusia.
1.      Kebebasan beragama.
Penetapan prinsip ini didalam piagam madina tampaknya menjadi jawaban nyata terhadap sosial penduduk madinah, yakni adanya peragaman komunitas agama keadan keyakinan dikota itu. Manusia mempunyai hak kebebasan personal untuk memilihb keyakinan atau ideologi mana saja. Dalam Piagam Madinah yang menyatakan bahwa kaum Yahudi tetap perpegang pada agaman merekan dan orang orang Mukmin pun tetap berpegang pada agama mereka (pasal 25).
2.      Kebebasan dari kekurangan.
Hal ini dapat dilihat dalam ketetapan Piagam Madinah yang menyatakan bahwa “sesungguhnya orang orang mukmin tidak boleh membiarkan seseorang diantara mereka menanggung beban utang dan beban keluarga yang harus diberi nafkah, tetapi memberinya bantuan dengan cara yang baik dengan menebus tawanan atau membayar diat, (pasal 12).
3.      Kebebasan dari pengayiayaan dan menuntut hak.
Prinsip ini dipahami dari ketetapan piagam yang menyatakan: “bahwa kaum Yahudi yang mengikuti kami berhak mendapat perlindungan dan hak persamaan tanpa ada pengayiayaan atas merekan dan tidak pula ditolong orang yang menjadi musuh mereka, (pasal 16), dan bahwa tidak ada orang yang boleh menghalangi seseorang menuntuk haknya (balas) karena dilukai” (pasal 36).
4.      Kebebasan dari rasa takut.
Teks piagam menyatakan: “bahwa siapa saja yang keluar dari kota Madinah atau tetap tinggal (didalamnya) ia akan aman kecuali orang yang berbuat zalim dan berbuat dosa”. (pasal 47).
5.      Kebebasan berpendapat.
Prinsip ini dinyatakan oleh teks piagam secara eksplisit. Prinsip ini dipahami dari pasal 37 yang menyatakan: “dan bahwa diantara mereka saling memberi saran dan nasihat yang baik dan berbuat kebaikan, tidak dalam perbuatan dosa, dan pasal 23 yang menyatakan: “dan bahwa bila kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka sesungguhnya rujukan (menyelesaikannya) kepada Allah dan Muhammad.[4]

E.     Prinsip Hubungan Antarpemeluk Agama
Ketetapan Piagam Madinah tentang kebebasan beragama dan pengakuan akan eksistensi komunitas-komunitas agama yang ada, diikuti pula dengan ketetapan-ketetapan yang mengatur hubungan-hubungan sosial dan politik di antara pemeluk agam-agama tersebut. Hubungan-hubungan yang dimaksud, yaitu;
Ø Di bidang pertahanan dan keamanan, yang bertujuan menjalin hubungan antar pemeluk agama, Piagam menentapkan bahwa diantara orang-orang mukmin dan kaum Yahudi mengadakan kerja sama dan tolong-menolong dalam menghadapi orang yang menyerang peserta perjanjian (pasal 37). Kerja sama, tolong-menolong atau saling bahu membahu merupakan kewajiban semua warga dalam menghadapi pihak lain yang melancarkan serangan terhadap kota Yastrib (pasal 44).
Ø Di Bidang belanja peperangan, bila ada musuh yang menyerang Madinah dan menyebabkan mereka terlibat dalam peperangan, Piagam Madinah menetapkan: “Bahwa kaum Yahudi bersama orang-orang mukmin bekerja-sama dalam menanggung pembiayaan selama mereka mengadakan peperangan bersama (pasal 24 dan 38)
Ø Di bidang kehidupan sosial, Piagam menyatakan bahwa antara orang-orang Yahudi dan Mukmin saling memberikan saran dan nasihat dan berbuat kebaikan tanpa perbuatan dosa (pasal 37).
Tapi tujuan esensi dari ketetapan Piagam tentang “kewajiban umum dalam usaha mewujudkan pertahanan dan keamanan bersama menghadapi musuh, bersama-sama mengeluarkan belanja selama dalam perang mempertahankan kota suci madinah dan saling nasihat-menasihati dan berbuat kebaikan tanpa perbuatan, “ Adalah terciptanya kerja sama dalam kebaikan , membentuk sikap keterbukaan dikalangan rakyat Madinah yang mementingkan golongan lain, bukan sikap yang eksklusif yang hanya mementingkan golongan sendiri. Hal lain yang lebih penting ialah umat Islam boleh mengadakan hubungan kerja sama dengan umat lain, dan berbuat baik kepadanya .[5]

F.     Prinsip Pertahanan
Ketetapan Piagam Madinah mengenai prinsip pertahan ini terkandung dalam pasal pasal 37, 44, 24 dan 38 yang menyatakan adanya Hak dan kewajiban umum “segenap rakyat Madinah dalam usaha mewujudkan pertahanan bersama dan bersama-sama mengeluarkan belanja perang selama mereka menghadapi perang bersama untuk mempertahankan keamanan kota Madinah.
Tujuan lain yang dapat dipahamin dari ketetapan tersebut adalah
Ø  Mempertahankan kedaulatan negara Madinah yang setiap saat bisa diancam oleh musuh musuh islam dari dalam dan luar; dan
Ø  Menciptakan rasa aman bagi nabi dan pengikutnya bagi kepentingan pengembangan pengaruh islam di Jazirah Arab.
Teks piagam yang menyatakan (pasal 44) yang sudah dikutip, ditafsirkan oleh ibn salam orang luar yang menyerang kota Madinah. Seluruh orang orang Mukmin dan Yahudi harus saling bahu-membahu dan tolong-menolong menghadapinya dan mempertahankan kota Madinah.[6]

G.    Prinsip Hidup Bertetangga
Ketetapan Piagam yang bersifat khusus dimaksudkan untuk menjamin tegaknya hak-hak dasar penduduk Madinah, yaitu hak hidup secara aman yang bebas dari penganiayaan dan rasa takut, hak persamaan, hak persaudaraan, hak melaksanakan adat kebiasaan yang baik, hak melaksanakan ajaran agama, dan hak mengemukakan pendapat sebagai telah diuraikan di atas. Terciptanya kondisi demikian akan berimplikasi pada terwujudnya persahabatan, persatuan, dan kesatuan rakyat Madinah yang heterogen secara efektif dan integral.
Sebagai telah disebut, baik tetangga yang dekat maupun tetangga yang jauh dan baik tetangga itu dari keluarga muslim, keluarga Yahudi, keluarga Nasrani, maupun keluarga musyrik, harus diperlakukan secara baik dan hak-haknya harus dihormati. Atas dasar ini, maka ketetapan yang bersifat global tersebut tidak hanya mengatur kehidupan bertetangga di kalangan masyarakat Madinah, tetapi juga mengatur kehidupan bertetangga antara masyarakat Madinah dan komunitas-komunitas yang menetapkan yang menetap di luar negara kota itu (city-state)
Dalam catatan sejarah islam, tercatat bahwa Muhammad SAW mengadakan perjanjian dan menjalin hubungan persahabatan dengan komunitas-komunitas yang menetap di luar kota Madinah serta menghormati hak-hak mereka. Diantaranya beliau mengadakan perjanjian dengan kaum Nasrani yang menetap di Najran. dalam perjanjian itu disebutkan bahwa mereka mendapatkan jaminan keamanan dan pelindungan, tidak ada penindasan atas mereka, bebas melaksanakan ajaran agamanya, menghormati sarana peribadatan mereka, mengakui hak-hak mereka dan pajak tidak dipungut dari mereka. Beliau juga memberikan jaminan yang sama kepada komunitas majusi dalam bentuk spucuk surat yang beliau kirimkan kepada Farrukh dan Syakhan, kepada daerah Yaman.
Dengan begitu, baik Piagam Madinah maupun Al-Quran telah meletakan ajaran dasar hubungan bertetangga, dan telah dipraktekan oleh Nabi, baik dalam kehidupan bertetangga dalam lingkungan masyarakat kota Madinah , muapun dalam berhubungan tetangga dalam negara Madinah dan kelompok-kelompok masyarakat yang bertetangga dengannya, yang dekat dan yang jauh dan yang baik dengan umat muslim maupun non-Muslim. Dasarnya diantara tetangga tidak boleh saling memusuhi, tetapi mereka harus hidup saling berdampingan, secara damai, saling melindungi dan menghormati hak-hak dan mengadakan kerja sama dalam kebaikan demi terwujudnya ketertiban dan keamanan serta kesejahteraan bersama. [7]



H.    Prinsip Tolong-Menolong dan Membela yang Lemah dan Teraniaya
Prinsip ini merupakan rumusan spesifik dari kandungan ketetapan-ketetapan yang sudah pernah dikutip dimuka untuk prinsip lain yaitu: “bahwa orang orang Mukmin tidak boleh membiarkan seseorang di antara mereka menanggung beban utang dan beban keluarga yang wajib diberi nafkah, tetapi hendaklah mereka membantunya dengan cara yang baik membayar diat (pasal 11).
Dan sesungguhnya perlindungan Allah itu satu. Dia melindungi mereka yang lemah. Sesungguhnya orang orang Mukmin sebagian mereka adalah penolong atau pembela terhadap sebagian yang lain, bukan golongan yang lain (pasal 15).
Prinsip ajaran yang terkandung dalam ketetapan pasal 12, 15, 37, 44, dan 22 tersebut, merupakan perjanjian persahabatan untuk mengikat berbagai golongan yang berdasarkan pada tolong-menolong dalam mewujudkan kebaikan, membela yang teraniaya, dan menjauhkan kejahatan. Artinya, masyarakat yang dicita-citakan oleh Piagam Madinah adalah masyarakat gotong-royong dan tolong-menolong satu sama lain dalam kebaikan, membantu orang yang lemah, membela yang teraniaya, dan tidak menolong atau membela pelaku kejahatan. Corak masyarakat seperti ini mulai yang menjadi tujuan perintah Allah dalam Al-Qur’an: “dan tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebaikan dan taqwa, dan jangan kamu tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan”. (QS. Al-Maidah ; 2).[8]

I.       Prinsip Perdamaian
Piagam Madinah menetapkan prinsip-prinsip ini secara eksplisit yang harus dipatuhi kaum Muslimin. “dan sesungguhnya perdamaian orang orang Mukmin itu satu, tidak dibenarkan seorang Mukmin membuat perjanjian damai sendiri tanpa mukmin lain dalam keadaan berperang di jalan Allah kecuali atas dasar persamaan dan kedilan diantara mereka”. (pasal 17)
Ketetapan lain menekankan agar orang orang Mukmin gemar menerima dan memprakarsai perdamaian. Teks piagam menyatakan: “apabila mereka (pihak musuh) diajak berdamai, mereka memenuhi ajakan berdamai itu dan melaksanakannya, maka sesungguhnya mereka menerima perdamaian itu dan melaksanakannya; dan sesungguhnya apabila mereka (orang orang mukmin) di ajak berdamai seperti itu maka sesungguhnya wajib atas orang orang mukmin (menerima ajakan damai itu), kecuali terhadap orang yang memerangi agama”. (pasal 45)
Sebagai mana Piagam Madinah, Al-Qur’an juga menyoroti masalah perdamaian dengan pandangan yang lebih luas dari piagam. Konsep Al-Qur’an tentang perdamaian berkaitan dengan perintah mewujudkan perdamaian, syarat menerima perdamaian, perdamaian interen umat islam, perdamaian dengan pihak eksteren, dan cara mewujudkan perdamaian.[9]

J.      Prinsip Bermusyawarah
Prinsip ini tidak disebut secara tegas oleh piagam madinah. Tetapi, bila dipahami salah satu pasalnya yakni pasal 17 sebagai telah dikutip, yang menyatakan bahwa bila orang Mukmin hendak mengadakan perdamaian harus atas dasar persamaan dan adil di antara mereka, mengandung konotasi bahwa untuk mengadakan perdamaian itu harus disepakati dan di terima bersama. Hal ini tentu saja hanya bisa dicapai melalui suatu prosedur, yaitu musyawarah diantara mereka. Tanpa musyawarat atau syura persamaan dan adil itu mustahil dapat dipenuhi, karena didalam musyawarah semua peserta mempunyai hak untuk mendapatkan kesempatan secara adil untuk mengungkapkan pendapat dan pandangan masing-masing terhadap masalah yang dirundingkan .
Sejalan dengan kehendak ketetapan tersebut, Muhammad SAW sebagai contoh teladan yang paling baik bagi umat manusia dan kedudukannya sebagai kepala negara pemerintahan di Madinah, telah membudayakan praktek musyawarah dikalangan para sahabatnya. Sejarah membuktikan bahwa beliau sering kali bermusyawarah dengan para sahabatnya untuk meminta saran dan pendapat mereka dalam soal kemasyarakatan dan kenegaraan.
Sementara dalam ayat lain Allah memerintahkan agar umat melaksanakan musyawarah. Dalam surah Asy-Syura ayat 38. “dan orang orang yang menerima seruan Tuhannya, dan mendirikan shalat, sedang urusan (diputuskan) dengan musyawarah, dan mereka membelanjakan sebagian dari rezeki yang telah kami berikan kepada mereka.[10]

K.    Prinisp Keadilan
Prinsip ini mendapat posisi dalam Piagam Madinah yang dinyatakan secara tegas sebagai sistem perundang-undangan dalam kehidupan masyarakat negara Madinah. Dalam pasal 2 - 10 dinyatakan bahwa orang-orang mukmin harus berlaku adil dalam membayar diyat dan menebus tawanan.
Kemudian pasal 13 menuntut orang-orang mukmin bersikap adil dalam menentang para pelaku kejahatan, ketidakadilan dan dosa sekalipun kepada anak sendiri. Sebab seorang mukmin yang membiarkan atau menutup-nutupi anak atau orang terdekatnya yang melakukan perbuatan dosa, merupakan cerminan sikap yang tidak adil. Seorang mukmin yang adil menentang siapapun yang melakukan kejahatan agar ketidak adilan tidak merajalela.
Dari ketetapan tersebut dapat ditegaskan bahwa prinsip keadilan menjadi satu sistem perundang-undangn negara Madinah. Semua warga negara, baik muslim maupun non-muslim diperlakukan secara adil dengan memperoleh hak perlindungan dan hak persamaan dalam kehidupan sosial dan politik. Artinya, sebagai sesama manusia mendapat hak yang sama untuk mendapatkan keadilan. Keadilan bukan hak satu golongan saja, melainkan hak setiap orang. ia juga menjadi sendi sosial masyarakat Madinah yang menuntun setiap warga negara berlaku adil dalam menyelesaikan setiap masalah, seperti membayar diyat dan menebus tawanan , dan menegakan hum secara adil.
Sebagaimana Piagam Madinah Al-Quran juga memiliki sejumlah ayat tentang keadilan. Ia meliputi perintah menegakkan keadilan baik melalui perkataan, tindakan dan sikap hati dan pikiran, penegak keadilan, kode etik menegakkan keadilan, objek keadilan, nilai yang terkandung dalam keadilan, dan tujuan ditegakkannya keadilan.[11]

L.     Prinsip Pelaksanaan Hukum
Prinsip ini dalam ketetapan piagam terfokus pada pemberian sanksi hukum kepada pelaku kejahatan dan kepada pihak yang secara politis memperlihatkan sikap permusuhan dan melakukan penghianatan. Rumusan prinsip ini disandarkan pada beberapa ketetapan piagam. Pasal 21 menyatakan: “bahwa siapa yang membunuh seorang mukmin dengan nyata (cukup bukti) maka sesungguhnya dia dihukum sebab perbuatannya, kecuali apabila keluarga si terbunuh merelakannya dengan diat, dan sesungguhnya orang-orang mukmin seluruhnya (berpihak) atas si terbunuh dan tidak di bolehkan bagi mereka (berdiam diri) kecuali melawannya (pelaku) pembunuhan.
Ketetapan yang bersipat umum disebut dalam pasal 47: maksud teks ini adalah siapa saja yang keluar dari Madinah dan menetap di dalamnya keamanan dirinya dijamin, kecuali orang yang melakukan perbuatan aniaya dan dosa. Artinya, orang yang berlaku baik tidak menimbulkan kerusuhan, dan tidak melakukan penghianatan, maka keamanan dirinya dijamin dan dilindungi. Sedangkan orang orang yang berbuat aniaya dan dosa yang merugikan orang lain dan melanggar hak-haknya, seperti menimbulkan kerusuhan, menunjukan sikap permusuhan dan melakukan penghianatan, keamanan dirinya tidak terjamin. Artinya, pelakunya harus diberi sangsi atas perbuatannya. Sebab, kesucian dan kehormatan kota Yatsrib harus dipelihara dan bebas dari segala macam tindak kejahatan.[12]

M.   Prinsip Kepemimpinan
Yang dimaksud prinsip kepemimpinan dalam pembahasan ini adalah posisi dan kedudukan Muhammad SAW serta fungsinya dalam konstitusi Madinah dan kepemimpinannya sebagai kepala pemerintah negara Madinah. Berkenaan dengan hal pertama pasal Piagam menyatakan :
Sesungguhnya bila kamu berbeda pendaat mengenai sesuatu, maka rujuan penyelesaiannya kepada Allah dan Muhammad SAW (pasal 23)

Sesungguhnya tidak seorang pun dari mereka (penduduk Madinah) dibolehkan keluar kecuali seizin dari Muhammad SAW (pasal 36)
Ketetapan-ketetapan ini menunjukan bahwa Nabi Muhammad SAW diakui sebagai pemimpin masyarakat Madinah, disamping pemimpin umatnya. Dari catatan sejarah diketahui bahwa posisinya ini lambat laun kemudian membuat beliau menjadi pemimpin masyarakat dan wilayah yang lebih luas dari kota Madinah, yang penduduknya terdiri dari banyak suku dan berbagai agama.
Berdasarkan pandangan itu , maka masyarakat Madinah yang majemuk itu adalah masyarakat yang teratur di bawah pimpinan Nabi. Fungsi beliau ini tidak terbatas pada perbedaan pendapat dan perselisihan di kalangan umat Islam, tetapi juga mereka yang bukan muslim.
Keharusan umat mengembalikan perbedaan pendapat dan perselisihan yang terjadi diantara mereka kepada ketentuan hukum Allah dan Muhammad SAW untuk memperoleh keputusan atau ketentuan hukumnya dalam ketetapan Piagam, juga terdapat dalam ayat al-Quran yang menyatakan:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasulnya dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih  utama dan lebih baik akibatnya.(QS An-Nisa: 59)[13]

N.    Prinsip Ketakwaan, Amar Makruf dan Nahi Munkar
Ketakwaan, amar makruf dan nahi munkar yang ditetapkan dalam Piagam Madinah di pahami sebagai asas pemerintahan negara Madinah, dan asas hubungan vertikal dan hubungan horizontal masyarakatnya. Prinsip ini dipahami dan dirumuskan dari ketetapan yang menyatakan: dan sesungguhnya orang-orang mukmin yang bertakwa harus menentang orang yang melakukan kejahatan dari kalangan mereka atau menuntut orang yang melakukan ketidak adilan, atau kerusakan diantara orang-orang mukmin. Mereka semua harus menentangnya secara bersama walaupun terhadap anak salah seorang mereka (pasal 13).
Dan sesungguhnya orang-orang mukmin yang bertakwa harus berpegang kepada petunjuk yang terbaik dan paling lurus (pasal 20).
Prinsip ketetapan ini menekankan pada hubungan baik dan harmonis orang-orang mukmin dengan Allah dan dengan lingkungannya. Sedangkan cerminan ketakwaan orang-orang mukmin dalam hubungannya dengan lingkungannya atau dengan manusia lain dan atau dengan masyarakatnya, harus “saling memberi saran dan nasihat dan berbuat kebaikan tanpa dosa” (pasal 37). Ini disebut tugas amar makruf. Mereka juga, menurut artikel 13 di atas, harus mencegah dan menentang segala macam tindakan kejahatan yang disebut dengan tugas nahi munkar. Artinya, artikel 13 dan 20 itu menghendaki orang-orang mukmin berkerja sama dalam mewujudkan kebaikan dan takwa dan mencegah segala macam bentuk kejahatan. Al-Quran juga memerintahkan kepada orang-orang mukmin agar bekerja sama dalam mengerjakan kebaikan dan takwa dan tidak bekerja sama dalam berbuat dosa dan pelanggaran.
Dalam ketetapan Piagam Madinah tersebut diketahui bahwa sifat ketakwaan orang mukmin mengandung dua dimensi.
Ø  Dimensi ketuhanan, yaitu hubungan manusia dengan Allah untuk bertakwa kepada-Nya.
Ø  Dimensi sosial, yaitu menegakan amar makruf dan nahi munkar demi terwujudnya ketertiban sosial.
Oleh karena itu, prinsip ketakwaan, amar makruf dan nahi munkar sebagai asas negara Madinah menuntut masyarakatnya  di samping bertakwa kepada Allah, juga harus mempunyai kepedulian sosial, baik untuk tugas amar makruf  maupun untuk tugas nahi munkar. Tipe masyarakat dan pemerintahan seperti inilah yang di cita-citakan islam, yakni suatu negara dimana masyarakat dan pemerintahannya berusaha menciptakan masyarakat  beriman dan bertakwa dan mengamankan kepentingan pemerintahan dalam mencapai tujuannya. [14]







BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Usaha nabi mempersaudarakan orang-orang mukmin membentuk mereka menjadi satu umat, kemudian mempersatukan orang-orang yahudidan sekutunya adalah satu umat bersama orang-orang mukmin melalui perjanjian tertulis, merupakan tindakan politik beliau untuk mengorganisasikan penduduk Madinah yang majemuk itu menjadi masyarakat yang teratur.
Piagam madinah berfungsi sebagai dasar hukum dan konstitusi negara Madinah dalam mempersatukan penduduk madinah dari semua golongan. Karena di dalamnya terdapat prinsip-prinsip yang mengatur jalannya pemerintahan di bawah pimpinan Nabi Muhammad SAW.


B.     Saran
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis akan lebih fokus dan details dalam menjelaskan tentang makalah diatas dengan sumber-sumber yang lebih banyak yang tentunya dapat dipertanggung jawabkan.






DAFTAR PUSTAKA



Pulangan sayuthi, 1996, Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau dari Pandangan Al-Quran, RajaGrafindo persada, Jakarta



[1] Pulungan Sayuthi, Prinsip-prinsip pemerintahan dalam piagam madinah ditinjau dari pandangan Al-Quran,(RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1996) Hlm 125-141
[2] Ibid, Hlm 141-147
[3] Ibid, Hlm 149-151
[4] Ibid, Hlm 156-166
[5] Ibid, Hlm 169-172
[6] Ibid Hlm, 173-174
[7] Ibid, Hlm 187-188
[8] Ibid, Hlm 189-195
[9] Ibid, Hlm 196-198
[10] Ibid, Hlm 208-218
[11] Ibid, Hlm 222-224
[12] Ibid, Hlm 232-234
[13] Ibid, Hlm 250-252
[14] Ibid, Hlm 260-262

Tidak ada komentar:

Posting Komentar